Senin, 06 Juli 2015

Pendakian Gunung Sindoro Via Kledung (3.153 mdpl)

"Ma, hari Sabtu aku naik gunung ya."
"Gunung mana?"
"Sindoro."
"Lho, kok kesana lagi? Bukannya kapan hari sudah kesana?" Tanya Mama dengan wajah bingung.
"Kemarin kan Sumbing, Ma."
"Bukannya itu gunung yang sama?!"
"Beda, Ma."
"Halah, paling juga sama. Berangkat bersih, pulang mesthi reged kabeh wes ngono pincang neh mlakune. Ya wes ati-ati ya."

     Yes! Sudah dapat SIM (Surat Ijin Mendaki). Walaupun diomelin tapi aku tahu itu omelan sayang (^_^). Hati tidak tenang jika orang tua belum mengijinkan. Rasanya sudah ingin cepat-cepat packing peralatan di kos. Akhir minggu ini pas banget kerjaan testing selesai. Mendaki gunung Sindoro kali ini benar-benar seperti menjadi obat penat.
     Kali ini kami berangkat ber-9 menuju base camp gunung Sindoro yang terletak di Jalan Walisongo 1, RT 08 RW 03, Kledung, Temanggung. Base camp ini mudah ditemukan karena terletak dekat dengan jalan. Sudah hampir tengah malam ketika kami tiba di base camp. Tempat parkir cukup sesak dan beberapa kelompok pendaki yang sudah datang duluan memenuhi gedung base camp. Kami berencana akan bermalam dan memulai pendakian keesokan paginya.

Gunung Sindoro
     Pagi itu cerah sekali dan cuaca cukup dingin. Kami bersiap untuk memulai pendakian diawali dengan doa bersama dan tidak lupa kami membawa persediaan air sebanyak mungkin karena di gunung Sindoro tidak terdapat mata air. Pagi itu teman-teman menyempatkan pergi ke pasar untuk berbelanja sayur untuk dimasak di gunung nanti. Setelah sarapan kami pun kembali ke base camp untuk bersiap-siap.
     Kami memutuskan untuk jalan kaki dari base camp sampai Pos I. Jika kalian ingin menyingkat waktu bisa naik ojek yang disediakan penduduk sekitar dengan membayar sesuai tarif. Menurut info dapat menyingkat waktu kurang lebih 1.5 jam. Setelah semua siap kira-kira pukul 09:00 AM kami berangkat. Seperti gunung Sumbing, trek awal pendakiannya berupa ladang penduduk dan jalan batu yang ditata dengan rapi.
Peta Pendakian Sindoro Via Kledung
     Dengan berbekal peta dari base camp kami berjalan menuju Pos I, tetapi sebenarnya kami tidak menemukan dimana Pos I itu. Kami hanya melihat Pos ojek saja, tidak ada tanda-tanda tulisan Pos I. Atau sebenarnya pos ojek itu adalah Pos I? Entahlah, kami terus berjalan dan ketika sudah waktunya makan siang kami tiba di Pos II. Nafasku sudah ngos-ngosan dan kaki sudah mulai lelah maka kami memutuskan  istirahat di Pos II sekalian makan dan menunggu beberapa teman yang sholat. Nasi telur dan kering tempe yang kami beli di warung dekat pasar tadi terasa sangat nikmat, nyam!
     Setelah makan siang kami pun melanjutkan perjalanan. Tidak seperti dari Pos ojek sampai Pos II yang banyak bonusnya, trek menuju Pos III sudah tidak ada bonus dan semakin menanjak. Di Pos III terdapat banyak tempat untuk mendirikan tenda dan banyak sesemakan. Sebenarnya Pos III merupakan tempat yang baik untuk mendirikan tenda tetapi terlalu jauh dari puncak dan masih banyak kawanan babi hutan yang sering menyerbu sisa-sisa makanan. Tetapi tetap saja ada banyak orang yang mendirikan tenda di Pos III ini. Sempat aku dengar beberapa percakapan tentang serbuan babi hutan tadi malam. Tak bisa ku bayangkan kalau aku di kejar babi hutan hahahaha. Karena banyak orang mendirikan tenda di Pos III terdapat banyak sekali sampah yang menumpuk. Hal ini juga yang menyebabkan babi hutan datang pada malam hari. Mereka tertarik dengan bau makanan dan sampah-sampah yang dibuang sembarangan. Tidak ingin mengganggu dan diganggu kawanan babi hutan kami pun terus berjalan untuk mencari tempat yang lebih tinggi.


Sumbing dari SindoroSumbing dari Sindoro

     Kami sudah mulai menyusuri jalan berbatu terjal yang jarang pohon dan matahari pun sudah mulai condong ke barat, tetapi belum melihat tanda-tanda Pos IV. Waktu bahkan belum menunjukkan pukul 3 sore, tetapi hawa dingin sudah menyerbu. Semakin sering berhenti untuk beristirahat semakin terasa dingin. Tetapi apa daya karena memang jalanku pelan dan sering berhenti mau tak mau harus menahan dingin. Angin terasa berhembus cukup kencang tanpa ada pepohonan yang menghalangi. Beberapa teman kami yang berjalan lebih cepat mendahuluiku dan mencari tempat untuk mendirikan tenda.
     Sebelum matahari tenggelam tenda-tenda kami sudah berdiri dan segera kami menyiapkan makan malam. Selain perut sudah lapar kami harus terus bergerak agar badan tetap hangat. Sungguh dingin luar biasa ketika sinar matahari sudah tidak menyentuh tanah di sekitar kami. Setelah kenyang kami pun asyik mengobrol hingga mata ini terasa berat. Sering kali aku terbangun di tengah-tengah tidurku karena hawa dingin yang luar biasa. Bahkan lubang kecil di tenda kami terasa menyemburkan angin dingin ke dalam. Tapi puji Tuhan cuaca cerah dan tidak hujan. Sebenarnya kami sudah bersiap diri jika kehujanan karena ramalan cuaca di internet mengatakan akan hujan malam itu.

     Pukul 4 pagi mas Budi sudah memanggil-manggil berusaha membangunkan. Tapi mata masih berat dan dingin membuatku malas keluar dari tenda. Baru setengah jam kemudian aku berhasil mengalahkan kantuk dan malasku, berjalan menuju puncak. Aku membutuhkan waktu sekitar 1.5 jam berjalan menuju puncak, tentu saja teman yang lain jauh lebih cepat hahaha. Getih dan mas Buyung dengan sabar menemani langkah pelanku. 
     Ternyata Pos IV tidak jauh dari tempat kami mendirikan tenda. Setelah kedinginan dan nafas yang sudah mau putus rasanya kami pun tiba di puncak. Semua lelah tiba-tiba hilang kalau sudah di puncak. Mungkin kalian merasakan hal yang sama, rasanya badan sudah tidak kuat lagi tetapi semua lelah hilang ketika tiba di puncak.

    
     Puncak gunung Sindoro tidak nampak seperti foto-foto yang kulihat di internet selama ini. Di foto-foto itu nampak kawahnya digenangi air sehingga terlihat seperti danau. Tetapi kini kawah Sindoro sudah nampak aktif lagi. Bau belerang menyengat hidung dan asap serta lumpur panas memenuhi kawah yang dulunya terisi air. Banyak tanaman-tanaman kering di sekitar kawah karena kawah ini aktif kembali sejak sekitar tahun 2011. Selain kawah Sindoro yang walaupun tampak mengerikan tapi sekaligus indah, pemandangan dari puncak gunung Sindoro ini benar-benar luar biasa. Tampak jajaran gunung dari gunung Ungaran, gunung Lawu, Gunung Telomoyo, gunung Merbabu, gunung Merapi, gunung Sumbing dan bahkan si mungil gunung Andong. Senangnya hari itu sangat cerah dan semua gunung-gunung tampak jelas. Beberapa teman mengitari kawah dan kata mereka gunung Prau dan gunung Slamet juga terlihat jelas.

Kawah di Puncak Gunung Sindoro
     Tak lupa aku dan Getih berdoa di puncak sebelum turun. Sudah puas foto dan sudah puas bermain-main di puncak, kami pun turun untuk makan siang dan packing. Pukul 11 siang kami mulai menuruni gunung Sindoro. Turun memang tidak selalu lebih mudah dari pada naik. Berkali-kali aku terjatuh karena jalan licin berkerikil. Ditambah lagi banyak pendaki-pendaki yang entah kenapa mendirikan tenda di tengah jalan di sekitar Pos III. Tetapi hati senang karena melihat beberapa pendaki yang dengan semangat membawa turun sampah mereka. Tidak banyak yang begitu, tetapi ada. Memang kita naik gunung itu bayar, tetapi itu bukan alasan kita buang sampah sembarangan. Jangan jadi manja dan dengan mudah menghalalkan diri membuang sampah sembarangan hanya karena telah membayar. Ingat, kebersihan adalah sebagian dari iman. Ini bukan soal uang, tetapi soal kualitas pribadi masing-masing :)

Pemandangan dari tempat mendirikan tenda
     Sungguh senang bisa mendaki gunung Sindoro. Walaupun mama benar, badan dan baju kotor semua dan kaki juga agak pincang tetapi pengalaman memang berharga lebih bagi kita. Terima kasih Getih, pak Giana, mas Buyung, mas Budi, mas Aris, Refan, Eko dan Budi anduk sudah bersama mendaki gunung Sindoro. Akhir kata, meniru gaya bicara Budi yang entah bagaimana mengejanya dan apa makna sesungguhnya, kalian memang Sledug!!! hahahahaha..

Jajaran gunung dari puncak Sindoro
Info pendakian
1. Estimasi waktu kami:
  • Base camp - Pos ojek: 1 jam.
  • Pos ojek - Pos II: 1 jam.
  • Pos II - Pos III:1.5 jam.
  • Pos III - Pos IV: 3 jam.
  • Pos IV - Puncak:1 jam.
  • Total naik: 11 jam.
  • Estimasi jalan turun dari puncak kurang lebih separuh jalan naik, kira-kira: 4-6 jam.
2. Bawalah bekal air sebanyak mungkin karena tidak ada mata air selama pendakian.
3. Disarankan bermalam sebelum batas camp hutan lamtoro di atas pos III karena setelah batas camp tidak ada pohon dan angin cukup kencang.
4. Berhati-hatilah jika mendirikan tenda di sekitar Pos III karena masih terdapat babi hutan. Dilarang membunuh ataupun melukai babi hutan maupun hewan-hewan yang lain.
5. Waktu yang disarankan untuk berada di puncak gunung Sindoro adalah pukul 7 pagi sampai 12 siang.
6. Jangan lupa sampah dibawa turun ya mas-mas dan mbak-mbak pendaki yang budiman dan tidak manja :).

Selamat mendaki.
-Veronika

Kamis, 14 Mei 2015

Pendakian Gunung Sumbing Via Jalur Lama Garung (3.371 Mdpl) - Edisi Kehujanan

     Pernah aku berjanji pada diriku sendiri untuk tidak melakukan pendakian pada saat musim hujan karena beberapa kali mengalami kejadian kurang menyenangkan. Lagi pula kurang baik jika naik gunung kehujanan, bisa-bisa kita harus berhadapan dengan hipotermia. Walaupun teman-teman mengajak untuk mendaki ke gunung Merbabu yang paling ku sukai sekali pun aku tidak akan berangkat. Tetapi sore itu, di tengah-tengah musim hujan yang belum ada tanda-tanda akan usai ini teman-teman mengajaku dan Getih untuk mendaki ke gunung Sumbing. Mungkin karena ini pertama kalinya aku berencana ke Sumbing jadi tak bisa menolak :)
     Jumat malam jam 10 kami berangkat dari kantor ke base camp yang terletak di Desa Butuh, Dusun Garung, kecamatan Kalikajar, kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah. Kami berencana menginap semalam di base camp dan berangkat keesokan paginya.

Gunung Sindoro dari base camp Garung

     Semalam memang hujan deras tetapi pagi harinya cukup cerah dan gunung Sindoro tampak sangat indah dan jelas dari base camp Garung. Tetapi tidak seperti gunung Sindoro yang tampak cerah, Gunung Sumbing sudah diliputi mendung pagi itu. Yah terima nasib saja pasti akan kehujanan nanti. Sebenarnya kami berencana untuk mendaki lewat jalur baru, tetapi karena terjadi longsor dan jalur baru ditutup kami pun harus lewat jalur lama yang menurut informasi lebih terjal.

Gunung Sumbing dari base camp Garung

Foto dulu sebelum berangkat (^_^)

     Banyak sekali rombongan pendaki hari itu. Setelah berfoto bersama dan berpamitan dengan bapak pemilik rumah dan teman-teman pendaki yang lain kami pun segera berangkat. Dari base camp kami berjalan melewati rumah-rumah penduduk. Trek awal ini berupa jalan aspal dan jalan bebatuan yang disusun rapi. Seperti biasa, sudah bisa kubayangkan jalan berbatu rapi ini bakalan membuat dengkul senut-senut baik itu waktu berangkat maupun pulang hahaha.
     Di kanan kiri kami terdapat ladang para penduduk sekitar. Sebenarnya dari base camp ke Pos I bisa kita tempuh dengan menggunakan ojek dengan biaya Rp 25.000,- untuk naik dan Rp 20.000,- untuk turun (tahun 2015), tetapi kami memutuskan untuk jalan kaki saja karena ini pertama kalinya kami mendaki gunung Sumbing. Ingin bisa merasakan trek komplit :).

Jalan berbatu menuju Pos I
     Kami membutuhkan waktu kurang lebih 2,5 jam dari base camp ke Pos I. Trek awal ini benar-benar menguras tenaga. Kami berangkat 1 jam lebih awal dari pendaki lain dan waktu kami ngos-ngosan di tengah jalan pendaki yang lain menyusul dan bahkan jauh mendahului kami menggunakan ojek. Sakit. Haahahahahaha. Tapi karena dari awal kami sudah memutuskan untuk menapaki jalur dari awal sampai akhir jadi kami lanjut dengan ceria.
     Di Pos I terdapat shelter dan tak jauh dari situ terdapat mata air. Sebaiknya isi dulu bekal air kalian di sini. Trek menuju Pos II berupa jalur tanah yang juga merupakan jalur air hujan. Sangat licin dan kami harus sangat berhati-hati. Seperti yang sudah kami duga hujan pun mulai turun. Kombinasi jalur licin dan hujan deras memang tiada duanya. Masih semangat terussss!!! Kurang lebih 2 jam kami pun tiba di Pos II (Gatakan). Di Pos II ini kami berhenti untuk menunggu 3 teman kami yang akan menyusul kami. Jalan mereka cepat sehingga kami putuskan untuk menunggu di Pos II. Dengan badan basah kuyup kami pun membentangkan flysheet, mengikat ujung-ujungnya pada pohon dan berlindung di bawahnya sambil makan siang. 
     Sudah lewat 2 jam kami duduk menggigil kedinginan, ujung-ujung jariku sudah mulai keunguan. Berbagai gerakan sudah kami lakukan untuk menghangatkan tubuh tapi baju basah kami membuat tubuh tetap kedinginan. Ketika ujung jariku mulai mati rasa, Refan mengeluarkan kompor dan merebus air. Awalnya kami tidak tahu apa yang dia lakukan. Setelah air mendidih ia mengambil sehelai tissue basah dan mencelupkannya ke air panas. Dengan tissue basah hangat itu ia membasuh ujung-ujung jarinya dan bahkan tangan kakinya. Ah, ide yang bagus!!! hahahahaha. Segera kami menirukannya. Waaahh ujung-ujung jariku sudah tidak mati rasa lagi dan bahkan tidak berwarna ungu lagi. Kami menamai teknik menghangatkan tubuh ini "Teknik Sibin" hahahaha. Walaupun hangatnya tidak bertahan lama paling tidak jari-jari tangan dan kakiku bisa normal kembali. Bisa kutangkap tatapan aneh dari para pendaki lain yang melewati kami. Kalau dibayangkan pasti pemandangan yang konyol sekali, 5 orang basah kuyup dan tertawa-tawa dengan tissue basah menempel di badan kami.

Camping ground tepat di bawah Pestan
     Setelah 2 jam lebih yang serasa 2 tahun akhirnya ketiga teman kami datang. Senangnya bisa melanjutkan perjalanan. Sudah hampir pukul empat sore ketika kami berjalan menuju Pos III. Sebenarnya Pos III merupakan tempat yang cukup bagus untuk mendirikan tenda. Tetapi tempat sudah penuh, jadi mau tak mau harus terus naik. Hujan masih deras mengguyur dan trek setelah Pos III ini jauh lebih terjal lagi. Air mengalir deras membuat trek semakin sulit dilewati. Tak apalah badan basah kuyup asal baju dan alat-alat aman dan kering di keril.
     Kami memutuskan mendirikan tenda tepat sebelum Pestan (Peken Setan) atau Pasar Setan. Walaupun masih cukup jauh dari puncak tetapi matahari sudah mulai tenggelam dan kami tidak ingin berjalan di malam hari. Setelah tenda berdiri dan kami sudah kering dan hangat dengan canda tawa dan makanan hangat yang terasa 100x lipat lebih enak jika dibandingkan dimakan di rumah, kami pun masuk ke tenda kami masing-masing untuk beristirahat. Malam itu tenda kami dihajar hujan badai. Angin kencang terus saja bertiup sepanjang malam.
Gunung Sindoro dari Pestan Sumbing
     Rencana kami untuk summit attack jam 4 pagi pun gagal karena cuaca yang buruk. Pukul 8 kami mulai menuju puncak karena sayang jika tidak lanjut sampai puncak apalagi cuaca cerah setelah badai semalam. Baru berjalan kurang dari 15 menit kami sudah tiba di Pestan. Di Pestan yang berupa tanah lapang ini tidak dianjurkan untuk mendirikan tenda karena tidak ada pohon satu pun yang akan melindungi tenda dari angin.


     Setelah berjalan sekitar 30 menit kami pun tiba di Pasar Watu. Seperti namanya, Pasar Watu ini didominasi oleh batu-batu besar tetapi tidak sulit untuk dilalui. Tetapi setelah itu ada sebuah batu besar yang sangat miring di tengah-tengah jalan. Kalian yang pernah mendaki Sumbing pasti tahu batu ini. Harus berhati-hati karena di bawah batu miring ini terdapat jurang.

Pasar WatuTrek legendaris Sumbing

     Satu jam kemudian kami tiba di Watu Kotak yang kata orang dinamai demikian karena  bentuknya yang menyerupai kotak. Tapi dari apa yang kulihat lebih mirip persegi panjang hehehehe. Persediaan air sudah habis dan perut sudah mulai lapar. Badan mulai lemas karena haus. Untung saja terdapat air setelah Tanah Putih. Setelah minum air sebanyak-banyaknya serasa hidup kembali.
     Akhirnya...akhirnya setelah hujan badai kemarin dan jalan terjal berliku menuju puncak, kami pun tiba di Puncak Buntu 2 jam kemudian. Puncaknya cukup unik karena sebenarnya masih terdapat tempat lain yang lebih tinggi tetapi tidak bisa didaki dengan mudah. Rangga dan Pak Nando sudah berlarian turun ke kawah. Kakiku sudah lemas jadi tidak ikut, hanya memandang mereka dari Puncak Buntu saja. Wahhhh...pemandangan dari puncak Sumbing memang juara.

Puncak Buntu
     Konon katanya terdapat sebuah makam di Puncak Gunung Sumbing ini. Sebuah makam seorang Syeh yang bernama Syeh Kiai Makukuhan. Beliau disebut-sebut sebagai utusan Kerajaan Demak untuk menyebarkan agama Islam. Tidak, aku sendiri tidak melihat makam itu...mungkin belum beruntung :)

 
Pemandangan kawah dari Puncak Buntu
     Setelah puas berfoto di puncak kami pun segera turun. Puji Tuhan perjalanan pulang kami tidak diguyur hujan. Kami tiba kembali di base camp Garung sekitar pukul 9 malam dengan hati puas karena bisa mendaki dan turun dengan selamat dan dapat merasakan jalur komplit Sumbing. Badan boleh terasa sakit dan lelah tetapi semangat tetap membara. Siap beraktifitas kembali di hari Senin!

Berlari kecil kami di bawah rinai hujan
Entah air hujan entah keringat yang mengalir deras membasahi tubuh kami
Kami tak tahu
Tapi satu hal yang selalu kami tahu
Canda dan tawa kami mengalir hangat dari hati ke hati

-Veronika

Jumat, 20 Maret 2015

Gunung Api Purba dan Embung Nglanggeran

     Mengapa disebut sebagai gunung api purba? Karena gunung Nglanggeran yang terletak di kawasan Baturagung, di desa Nglanggeran Kecamatan Patuk Kabupaten Gunungkidul ini berumur kurang lebih 60 juta tahun dan tersusun dari bebatuan vulkanik. Ketinggian gunung Nglanggeran ini sekitar 200-700 mdpl. Memang tidak terlalu tinggi namun gunung Nglanggeran ini tidak seperti kebanyakan gunung-gunung di Jawa Tengah. Gunung Nglanggeran ini sebagian besar areanya berupa batu vulkanik dan tidak banyak terdapat pepohonan.

Pemandangan dari Gunung Api Purba Nglanggeran
      Memang untuk mencapai puncak gunung Nglanggeran ini tidak membutuhkan waktu yang lama namun tetap harus hati-hati dalam pendakian karena beberapa jalur curam dan licin, bahkan ada jalur yang harus melewati celah sempit diantara dua batu besar. Mungkin dulu dua batu besar itu merupakan satu batu yang bergeser dan pecah sehingga membentuk sebuah celah. Karena jalur pendakian tidak rata dan agak menanjak maka sebaiknya kenakan pakaian yang nyaman dan sepatu atau sandal yang tidak licin. Terdapat banyak tempat sampah yang disediakan pengurus lokasi wisata gunung api jadi tolong buanglah sampah pada tempatnya ya :)
     Kami membutuhkan waktu kurang dari 1 jam untuk dapat mencapai puncak. Karena sebagian besar jalur dekat tepian tebing maka berhati-hatilah karena angin kencang kerap kali berhembus. Siang itu panas terik matahari membuat keringat kami deras mengalir, tetapi pemandangan luar biasa serta angin yang berhembus membuat badan kami tetap segar.

Celah sempit di antara 2 batu besarPemandangan dari tepian tebing


Pemandangan dari puncak gunung Nglanggeran
      Menurut beberapa sumber nama gunung Nglanggeran ini berasal dari kata planggaran yang memiliki pengertian bahwa setiap kejahatan akan diketahui. Ada juga yang menyebutkan bahwa gunung ini memiliki nama lain yaitu gunung Wayang karena terdapat batu-batu gunung yang berbentuk menyerupai tokoh wayang walaupun aku dan Getih belum cukup beruntung dapat melihat bentuk-bentuk tokoh pewayangan itu sendiri. Mungkin kami kurang memperhatikan :). Terdapat sumber mata air Comberan di dekat puncak gunung Nglanggeran. Tapi sekali lagi kami kurang beruntung karena jalur menuju kesana entah ditutup entah jalan setapaknya tidak dapat kami temukan karena pada kenyataannya Getih mencoba berjalan ke mata air Comberan tetapi tidak menemukannya dan hanya dapat mendengar gemericik suara airnya saja. Tidak ada jalan menuju kesana. Semoga suatu saat kami dapat mengunjunginya.
     Terdapat dataran di dekat puncak yang biasa digunakan untuk camping area dan tempatnya cukup nyaman. Jika kami mendapat kesempatan mengunjungi gunung api purba ini lagi kami berharap bisa mendirikan tenda dan menginap untuk beberapa hari.

Embung terlihat di kejauhan dari puncak gunung api purba Nglanggeran

Pemandangan dari puncak gunung api purba nglanggeran
     Secara keseluruhan, jalur menuju puncak gunung Nglanggeran ini cukup mudah bahkan bagi anak-anak tetapi karena tebing-tebing yang curam dan angin yang cukup kencang diwaktu-waktu tertentu maka sebaiknya selalu berhati-hati.
     Tidak jauh dari gunung api purba terdapat sebuah embung yang bernama embung Nglanggeran, sama seperti nama desa tempat gunung api purba dan embung itu berada. Dari puncak gunung kami bisa melihat embung Nglanggeran dari kejauhan dan memutuskan untuk mampir. Walaupun matahari bersinar cerah pada sing hari namun semakin sore langit menjadi gelap karena mendung dan kami bergegas agar tidak kehujanan. Dari tempat parkir kami menaiki tangga untuk mencapai embung. Di embung Nglanggeran ini sering dijadikan tempat untuk melihat matahari terbenam. Walaupun sore itu mendung tetapi tetap saja banyak orang menunggu matahari terbenam. Tentu saja matahari terbenam dari puncak gunung Nglanggeran juga pasti akan sangat indah. Tapi hari ini kami tidak menunggu matahari terbenam karena rintik hujan sudah mulai turun.

Gunung Api Purba Nglanggeran dari embung
      Akan sangat menyenangkan berakhir pekan di gunung api purba dan mengunjungi embung Nglanggeran baik bersama teman maupun keluarga. Kegiatan tracking pada akhir pekan selalu membuat badan dan pikiran kami menjadi lebih segar dan siap untuk menghadapi apapun pada minggu berikutnya.

Embung Nglanggeran
Sehat selalu dan selamat berwisata!

-Veronika

Rabu, 11 Maret 2015

Candi Sari, Peninggalan Asrama Para Biarawan Budha

     Sudah mengunjungi candi Kalasan? Akan lebih lengkap jika kita juga mengunjungi candi Sari yang letaknya tak jauh dari candi Kalasan. Awalnya aku dan Getih tidak tahu dan belum pernah mendegar tentang candi Sari ini. Bapak satpam yang bertugas di candi Kalasan lah yang menceritakan tentang candi Sari ini. Karena dekat maka kami tak ragu-ragu mengunjunginya.

Relief Candi Sari
     Candi Sari yang terletak di dusun Bendan, desa Tirtomartani, Kecamatan Kalasan, Kabupaten Sleman ini merupakan candi bercorak Budha yang memiliki arsitektur bangunan bertingkat. Candi ini diperkirakan dibangun pada waktu yang sama dengan candi Kalasan yaitu sekitar abad 8 masehi. Seperti candi Kalasan, bangunan candi Sari ini juga dilapisi oleh bajralepo sehingga bangunannya nampak keputihan jika dilihat dari jauh. Untuk masuk ke candi Sari ini tidak perlu membeli tiket, kami hanya mengisi buku tamu dan memberikan uang kas seikhlasnya.

Candi Sari tampak belakangCandi Sari tampak depan
    
     Denah candi Sari ini berbentuk persegi panjang dengan ukuran 17.3x10 m. Bangunan candi ini dipisahkan menjadi 3 bilik dengan 2 pintu penghubung antar ruangan . Masih dapat dilihat susunan batu penyangga kayu lantai tingkat 2 pada masing-masing bilik. Candi Sari ini disebut-sebut sebagai asrama bagi para Sanggha (kelompok Bhikkhu). Sungguh ingin aku benar-benar tahu bagaimana wujud candi Sari ini ketika masih aktif digunakan. Seperti apa lantai tingkat dua, tangga, dan alat-alat apa saja yang berada dalam ruangan.
    

Batu penyangga kayu untuk tingkat 2Hiasan dinding di samping pintu bilik pada ruang tengah

     Puncak-puncak candi Sari yang berbentuk stupa ini sudah tidak lengkap lagi, entah hancur entah dicuri orang. Dinding luar candi dihiasi dengan pahatan relief-relief Bodhisatwa yang sedang berdiri dengan memegang bunga teratai dengan jumlah total 38 relief. Pada masing-masing kiri dan kanan jendela juga terdapat relief mahkluk kayangan yaitu kinara dan kinari (mahkluk bertubuh burung dengan kepala manusia).

Relief candi

Relief di kanan dan kiri jendela
     Tidak disebutkan seberapa banyak candi Sari ini dapat menampung manusia untuk tinggal di dalamnya. Lantai 2 bangunan candi Sari tidak pernah di bangun kembali. Akan sangat menarik jika lantai 2 dibangun kembali lengkap dengan tangganya sehingga pengunjung sungguh dapat membayangkan bagaimana bentuk asrama para Bikkhu ini di masa lalu.
     Menurut Syifa dan Aliya, 2 bocah cantik setempat yang sedang asyik dengan permainan monopoli mini mereka di pelataran candi, candi Sari ini sering kali sepi dan hanya ada beberapa pengungjung pada akhir minggu. Candi Sari ini unik karena merupakan bangunan asrama bukan untuk tempat pemujaan dan peribadahan seperti candi-candi kebanyakan.
Syifa dan Aliya



     Candi Sari ini termasuk salah satu candi yang bersih dari corat-coret tangan jahil dan semoga akan selalu bersih. Selamat berwisata!

-Veronika

Jumat, 27 Februari 2015

Keunikan Candi Kalasan, Yogyakarta

     Yogyakarta dan sekitarnya memang gudangnya candi. Dari kompleks candi yang luas dengan bangunan candi yang besar dan terkenal seperti Prambanan hingga kompleks candi yang lebih kecil dan lokasinya terpencil seperti candi Ijo. Kali ini aku dan Getih berkesempatan mengunjungi candi Kalasan yang terletak di desa Kalasan, Kabupaten Sleman, Provinsi Yogyakarta. Dengan menggunakan sepeda motor kami berangkat dari Salatiga mengikuti koordinat -7.767387, 110.472305 (7°46'02.6"S 110°28'20.3"E) pada google maps.
     Lokasi candi Kalasan ini tidak sulit dijangkau dan terletak tidak jauh dari jalan raya. Kesan pertama saat melihat candi ini adalah "cantik" dan "tinggi". Ya, candi ini cantik sekali menurutku. Selain bangunan candi yang menawan, rumput hijau yang memenuhi tamannya juga terawat. Ada sebuah pohon besar yang menaungi pelataran candi, membuat suasana lebih sejuk. Dari kejauhan sudah nampak ukiran-ukiran di dinding candi yang masih tersisa. Untuk memasuki lokasi candi Kalasan ini tidak dikenakan biaya tiket, kita hanya perlu mengisi buku tamu dan menyumbangkan uang kas seikhalsnya. Setelah sejenak mengobrol dengan bapak satpam penjaga pos masuk, kami pun segera berkeliling.


Salah satu pintu candi Kalasan dengan hiasan Kala

     Sisa bangunan candi Kalasan ini memiliki total tinggi 24 meter. Berdiri di atas batur setinggi 1 meter dan kaki candi setinggi 3 meter. Tubuh candi itu sendiri setinggi 13 meter dan atap setinggi 7 meter. Atapnya sudah tidak utuh tetapi masih dapat dilihat bentuknya yang menyerupai lonceng yang merupakan ciri khas dari candi bercorak Budha.
     Dalam sebuah prasasti yang berbahasa Sansekerta, berhuruf Prenegari dan berangka tahun 700 Saka atau 778 Masehi menyebutkan bahwa didirikan sebuah candi untuk menghormati seorang Budha wanita yaitu Dewi Tara (Tarabhawana). Pendirinya adalah seorang raja dinasti Syailendra yang bernama Rakai Panangkaran (Maharaja Tejapurnapana Panangkaran). Prasasti tersebut juga menyebutkan tentang pembangunan sebuah asrama bagi para Sanggha (kelompok Bhikkhu) yang dikaitkan dengan bangunan candi lain di dekat candi Kalasan ini yaitu candi Sari. Dikatakan dahulu terdapat patung Dewi Tara yang terbuat dari perunggu di dalam bangunan candi, tetapi sekarang sudah hilang entah kemana.
     Di pelataran candi terlihat banyak patung Budha, atau tepatnya sisa-sisa patung Budha yang kebanyakan sebagian tubuhnya sudah dipotong dan dicuri. Terdapat juga Jaladwara (seperti pipa saluran air yang berbentuk sejenis ikan atau makhluk air) yang seharusnya menjadi bagian dari bangunan candi ditata di pelataran candi.

Makara di kaki candiJaladwara

     Seperti kebanyakan candi yang lain, kami disambut oleh sepasang Makara di kaki candi. Badan candi yang berbentuk bujur sangkar ini berukuran 16.5 x 16.5 meter dan memiliki empat sisi dengan pintu di masing-masing sisinya untuk masuk ke ruang utama. Tangga untuk menuju ruang utama candi sudah runtuh dan untuk masuk kami harus berhati-hati memanjat sisa-sisa batu tangga. Terdapat beberapa relung-relung kosong yang dulu nampaknya berisi patung-patung. Ruangan dalam sedikit gelap tanpa ada sisa-sisa patung apa pun. Atap candi berbentuk segi delapan dengan beberapa tingkat. Sebenarnya baru kali ini aku melihat atap candi seperti ini.


Atap candi berbentuk segi delapanBagian samping candi

     Hal unik yang membuat candi Kalasan ini berbeda adalah seperti pada candi Sari, bangunan candi Kalasan ini dilapisi oleh semacam semen yang disebut sebagai bajralepa atau orang-orang Jawa sekarang menyebut dengan teknik nglepo. Menurut hasil penelitian, lapisan bajralepa itu terdiri dari 30% pasir kwarsa, 40% kalsit, 25% kalkopirit dan 5% lempung. Mungkin lapisan bajralepa inilah yang membuat dinding candi terlihat keputihan.
    Pahatan-pahatan di dinding candi Kalasan ini terlihat sangat indah. Pahatan sulur-sulur vertikal pada dindingnya memberikan kesan tinggi pada bangunan candi dan pahatan-pahatan relief nya yang halus menjadi bukti bahwa seniman di masa itu juga sangat berbakat.

Ukiran menawan candi Kalasan
Mengapa tak ku biarkan saja?
Biarkan mimpiku merunut pahatan sulur-sulur di dinding hangat terpapar matahari
Merunut tinggi hingga ke surga

-Veronika

Rabu, 21 Januari 2015

Akhir Musim Panas di Gunung Prau (2.565 mdpl) Jalur Patak Banteng

     Musim panas merupakan musim dimana banyak orang melakukan pendakian. Ini bukan berarti tidak ada yang mendaki di musim hujan, tetapi jelas bahwa musim panas lebih nyaman dibandingkan musim hujan untuk para pendaki karena tidak perlu repot-repot menggunakan jas hujan saat pendakian dan juga biasanya pemandangan yang didapat di puncak lebih indah dan jelas pada musim panas. Sekali lagi, bukan berarti pemandangan tidak indah saat musim hujan :)
     Ketika aku dan Getih mengunjungi candi-candi di Dieng, kami melihat beberapa base camp pendakian gunung Prau. Penasaran dan rindu mendaki pun membuat kami berencana menaiki gunung Prau. Akhirnya bersama beberapa teman kantor kami pun berangkat. 
     Walaupun sudah mengira bahwa gunung Prau merupakan gunung yang ramai pendaki karena pemandanganya yang indah dan tracknya yang tidak begitu jauh, tetapi tetap saja kami terkejut melihat begitu banyak orang di base camp Patak Banteng hari itu. Base camp Patak Banteng tidaklah sulit untuk dijangkau. Jika kalian mengendarai bus umum pastikan turun di terminal Wonosobo. Dari terminal Wonosobo naik bus kecil lagi jurusan Dieng dan turun di base camp Patak Banteng. Para supir dan kernet bus sudah hafal betul jadi tinggal bilang saja. Base camp Patak Banteng ini terletak tepat di belakang Kantor Desa Patak Banteng, Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo. Kami ber-8 menggunakan sepeda motor dari Salatiga mengambil jalur Kragon yang jalannya melewati gunung Andong. Jalur Salatiga-Kragon-Secang-Temanggung-Parakan-Wonosobo yang kami lewati ini hanya membutuhkan waktu tempuh kurang lebih 2.5 jam.
     Setibanya di base camp kami pun segera mendaftar dan menitipkan helm. Sebelum berangkat kami sempatkan makan siang di warung-warung setempat. Pukul 12:30 WIB kami memulai pendakian. Kami tahu bukanlah ide yang bagus untuk melakukan pendakian pada tengah hari seperti ini. Panas terik matahari akan membuat kami mudah lelah. Tetapi kami harus berangkat awal jika ingin kebagian tempat di camping ground. Track awal pendakian berupa anak tangga yang rapih melewati rumah-rumah penduduk dan juga jalan berbatu yang mudah untuk dilalui. 
     Kurang lebih 15 menit kemudian kami tiba di Pos I. Hal yang cukup mengganggu jika mendaki di akhir musim panas adalah tanah kering berdebu membuat mata pedas dan mulut serta tenggorokan kering penuh debu. Jika teman di depan kita melangkah tak hati-hati maka siap-siap saja menghirup kepulan debunya. Tapi kepulan tanah berdebu ini lebih nikmat jika dibandingkan dengan kepulan hitam asap kendaran bermotor hahahaha

Menuju Pos IIMenuju Pos II

     Jalur pendakian Patak Banteng ini merupakan jalur pendakian tercepat menuju puncak. Jalurnya berupa tanjakan tanpa ampun. Kami jalan cukup pelan karena selain aku yang mudah loyo dan sering berhenti kami juga harus antri jalan dengan pendaki lainnya. Setelah berjalan kurang lebih 30 menit kami pun tiba di Pos II (Canggal Walangan). Kami sempat berfoto bersama pendaki lainnya dan beristirahat sejenak di Pos II ini.


     Satu jam berikutnya kami tiba di Pos III (Cacingan). Mata, hidung, mulut dan tenggorokan kami sudah dipenuhi debu dan walaupun sering berhenti nafasku tetap saja putus-putus. Kering sekali pendakian kali ini. Kami melihat beberapa pendaki lain sudah mulai kram kakinya. Jangan lupa membawa obat-obatan. Kurang lebih 1.5 jam kami baru tiba di Pos IV (Plawangan). Bunga-bunga daisy yang cantik tampak menghiasi disana sini walaupun ini merupakan akhir musim panas. Pasti lebih banyak dan indah pada musim hujan. Kami berhenti cukup lama di Pos IV ini dan tepat pukul 4 sore kami tiba di camp area. Total perjalanan kami yang pelan dan santai ini membutuhkan kurang lebih 3-4 jam perjalanan.

Bunga Daisy
     Gerimis sempat turun ketika kami mendirikan tenda sebelum matahari terbenam. Hanya ada beberapa tenda lain selain kami yang sudah berdiri disana. Cukup banyak tapi tidak ramai jadi kami masih bisa memilih tempat untuk mendirikan tenda.


     Setelah tenda kami berdiri dan barang-barang sudah ditata rapi, kami pun menaiki bukit dan menanti matahari terbenam. Ah sungguh indah matahari terbenam sore itu. 

Matahari terbenam
     Malam itu kami tidak bisa tidur karena banyak sekali pendaki yang baru tiba setelah tengah malam. Ada yang mengobrol hingga pagi dan ada juga yang membunyikan sirene dengan sangat keras. Ya, sirene di tengah malam!! Entah apa yang mereka pikirkan. Ketika matahari mulai terbit aku memutuskan untuk mengintipnya sejenak dan sangat terkejut dengan pemandangan di luar tenda. Ratusan orang dan tenda memenuhi camping ground. Pantas saja semalam tidak bisa tidur. Tenda-tenda berdiri sangat berdekatan dan aku gelisah karena tidak dapat menemukan tempat untuk buang air kecil. Aku dan Getih harus berjalan sekitar 15 menit ke arah Bukit Teletubies baru bisa menemukan tempat yang agak sepi. Banyak sekali sampah-sampah dan tissue bertebaran di sana sini. Sungguh membuat hati sedih.

Riuhnya pagi hari di Prau

Bukit Teletubies
     Setelah sarapan dan berkemas-kemas kami pun segera berjalan pulang dan tak lupa berfoto bersama terlebih dahulu serta tak lupa membawa turun sampah-sampah kami. Jalur pulang kami tidak sama dengan jalur berangkat. Kami menuruni gunung Prau melewati jalur Dieng. Perjalanan lebih lama tetapi jalanannya lebih landai dan pemandangannya sungguh indah. Bukit-bukit Teletubies itu berwarna coklat kehijauan di akhir musim panas ini. Pasti sangat indah di musim hujan, padangnya yang hijau dan bunga daisy bertebaran. Dalam hati aku ingin kembali ke sini suatu saat di musim hujan :).

Berfoto sebelum pulang

Bukit Teletubies yang kering
      Karena jalur turun kami berbeda dari jalur pendakian kami dan letaknya agak jauh dari base camp Patak Banteng maka kami harus naik angkutan umum untuk bisa kembali ke base camp Patak Banteng. Cukup lama kami menunggu tetapi setiap bus yang lewat penuh sesak. Akhirnya kami memberhentikan sebuah mobil bak terbuka. Pemilik mobil bak terbuka itu membolehkan kami menumpang dengan bayaran seikhlasnya. Terima kasih bapak pemilik mobil bak terbuka :).

Menumpang mobil bak terbuka ke Patak Banteng
     Setelah istirahat sejenak kami pun melanjutkan perjalanan pulang ke Salatiga. Badan penuh debu dan sangat lelah, tetapi hati dan pikiran kami sudah kembali segar untuk menghadapi hari senin di kantor :D. 

-Veronika