Selasa, 02 Desember 2014

Kawah Sikidang, Dieng

     Di tengah-tengah perjalanan kami mengunjungi candi-candi di Dieng, tak lupa kami mampir ke Kawah Sikidang. Kawah Sikidang merupakan salah satu kawah di dataran tinggi Dieng yang masih aktif. Walaupun sudah lama sekali dataran tinggi Dieng ini tidak meletus tetapi hingga saat ini masih terdapat kawah-kawah yang aktif. Kawah Sikidang yang berada di kawasan dataran tinggi Dieng, Wonosobo ini tidak sulit untuk dijangkau. Jika kalian berpergian menggunakan angkutan umum, dari Terminal Wonosobo kalian dapat menaiki bus dengan jurusan Wonosobo - Dieng. Bus ini akan membawa kalian hingga pintu gerbang depan kawah Sikidang.
     Kawah Sikidang berasal dari kata dalam bahasa Jawa yaitu 'kidang' yang berarti kijang. Hal ini disebabkan oleh lokasi kawah yang berpindah-pindah seperti seekor kijang yang melompat kesana kemari. Memang di lokasi kawah terdapat banyak kawah-kawah kecil dan semburan-semburan asap dari tanah. Jadi hati-hati ya dengan langkah kalian :). Perhatikan dengan seksama tanah yang kalian injak. Jika terdapat lumpur yang mendidih atau asap serta desisan asap pastikan untuk tidak menginjaknya.

Kawah Sikidang
      Bau menyengat sudah menyambut kami dari gerbang depan dan penjual masker pun juga tiada henti menawarkan masker untuk menutup mulut dan hidung kami. Di sekitar kawah Sikidang ini terdapat pipa-pipa besar yang menyalurkan uap panas dari kawah sebagai pembangkit listrik. Asap-asap mengepul di beberapa bagian pipa. Sejenak aku merasa agak ngeri melihat suasana kawah yang panas dan penuh dengan lumpur mendidih serta asap mengepul di sana-sini. Tidak ada alasan bagiku untuk dekat-dekat dengan pipa-pipa mengepul itu dan bermain-main di dekat sana :D. Jadi aku dan Getih hanya berfoto dari jauh saja.


     Banyak pedagang yang menjajakan berbagai macam makanan dari kentang goreng, berbagai macam gorengan dan minuman. Bahkan ada pedagang yang menjajakan telur rebus yang cara merebusnya langsung dari kawah utama Sikidang. Mereka mengaitkan telur-telur itu pada seutas tali yang diikatkan pada bambu dan memasukannya ke dalam kawah hingga telur itu matang. Walaupun di sekitar kawah sudah diberi pagar yang terbuat dari papan sebagai tanda jarak aman tetapi tetap saja beberapa pengunjung dan juga pedagang melanggarnya. Selain makanan para pedagang juga menjual bunga edelweiss kering yang diberi pewarna. Bunga-bunga edelweiss kering itu ditempatkan pada vas-vas kayu pakis. Sungguh sangat disayangkan bunga-bunga edelweiss yang dilarang untuk dipetik malah diperjual belikan dengan bebas di sini. Sungguh, mereka lebih cantik jika hidup, tanpa pewarna maupun tanpa vas. Teringat bunga-bunga edelweiss segar di gunung Merbabu dan Lawu. Aku juga tidak bisa membayangkan berapa banyak tanaman pakis dan juga bambu Pringgodani khas Dieng yang sudah dibabat. Semoga saja mereka melakukan reboisasi, kalau tidak bisa rusak ekosistem alam Dieng.

Telur-telur yang direbus di kawah
      Karena kami mengunjungi lokasi kawah Sikidang di akhir pekan kami berkesempatan melihat beberapa warga lokal yang bermain musik untuk mendapatkan uang. Musiknya asik juga :)

Permainan musik warga sekitar
     Kawah Sikidang merupakan salah satu kawah di kawasan dataran tinggi Dieng yang ramai pengunjung dan cukup aman untuk dijadikan tujuan berakhir pekan. Walaupun demikian selalu berhati-hati dan jangan dengan sengaja membahayakan diri sendiri dengan melanggar larangan-larangan yang ada.

Selamat berwisata!!!
-Veronika

Rabu, 26 November 2014

Kompleks Candi Dataran Tinggi Dieng, Wonosobo

     Siapa yang tidak kenal dengan Dataran Tinggi Dieng? Pemandangannya yang menawan, udara yang sangat sejuk, dan juga berbagai jenis makanan khasnya yang selalu menggoda selera. Tetapi bukan hanya itu saja, Dataran Tinggi Dieng juga menyimpan candi-candi yang indah dengan pemandangan yang sungguh luar biasa.
     Memang sungguh disayangkan bahwa candi-candi yang terletak di Dataran Tinggi Dieng ini tidak memiliki kelengkapan latar belakang sejarah yang jelas. Tertera di papan informasi bahwa candi-candi ini dibangun sekitar abad VII - VIII Masehi dan bercorak Hindu. Siapa yang membangun dan digunakan untuk apa belum begitu jelas. Nama-nama dari candi-candi ini mengambil dari beberapa tokoh wayang yang tidak jelas juga mengapa dinamai seperti itu. Berikut beberapa foto yang sempat saya ambil:

1. Kompleks Candi Arjuna

Kompleks Candi Arjuna
     Disebut kompleks karena di lokasi Candi Arjuna ini terdapat beberapa buah lokasi candi. Selain Candi Arjuna terdapat pula Candi Semar, Candi Srikandi, Candi Sembadra, dan Candi Puntadewa yang lokasinya berdekatan dengan Candi Arjuna itu sendiri.

Kompleks Candi Arjuna
2. Candi Setyaki

     Tak jauh dari kompleks Candi Arjuna sekitar kurang lebih 200 - 250 meter terdapat candi lain yang bertuliskan Candi Setyaki. Sekali lagi, aku tidak tahu kenapa dinamakan Candi Setyaki. Ada beberapa bangunan candi yang sudah roboh. Beberapa orang bilang itu candi-candi kecil lain yang memiliki nama wayang juga, tapi mungkin saja candi-candi itu merupakan candi perwara. Walaupun semakin lama melihat-lihat candi di dataran tinggi dieng ini aku dan Getih semakin bingung tetapi kami tidak mau melewatkan satu candi pun :). Apalagi cuaca sedang cerah dan pemandangan sungguh menawan saudara!!!

Candi Setyaki

Candi Setyaki
3. Candi Gatotkaca

     Dengan semangat 45 kami melanjutkan menelusuri jalan kecil yang sudah di paving ke arah barat menjauhi kompleks Candi Arjuna. Tak berapa lama kami berjalan, kami pun tiba di sebuah candi yang lain yaitu Candi Gatotkaca. Candi ini terletak cukup dekat dengan tepi jalan dan berada di seberang  Museum Dieng Kailasa.
Candi Gatotkaca
4. Candi Bima

     Berdasarkan peta yang sempat kami lihat di peta di dekat tempat parkir masih ada 2 candi lagi yang letaknya tidak jauh dari kompleks Candi Arjuna. Setelah bertanya kepada bapak penjaga tiket di Candi Gatotkaca kami pun segera mengunjungi Candi Bima yang letaknya diluar kompleks Candi Arjuna. Menurut petunjuk bapak penjaga tiket Candi Bima ini tidak jauh dari pintu masuk Kawah Sikidang. Aku dan Getih sudah mengendarai motor perlahan sambil melihat kiri kanan sepanjang perjalanan dan tetap saja Candi Bima ini terlewatkan begitu saja. Kami memutuskan untuk berjalan terus ke Kawah Sikidang. Setelah berputar-putar sebentar di Kawah Sikidang kami pun memutuskan untuk mencari Candi Bima lagi. Setelah bertanya ke beberapa orang akhirnya kami menemukannya. Astaga, gedenya segitu kok dari tadi tidak terlihat!!!! Hahahaha.

Candi BimaCandi Bima

     Candi Bima ini berbentuk unik tidak seperti candi-candi lainnya. Bentuk bangunannya lebih ramping dan tinggi. Bentuk Candi Bima ini seperti Shikara (mangkuk yang ditelungkupkan) dengan relung-relung berbentuk tapal kuda dan kudu di dalamnya. Kudu merupakan arca berbentuk kepala manusia yang seolah melongok dari bilik jendela. Konon Candi Bima ini memiliki 24 buah arca kudu yang sudah separuh lebih hilang dicuri.

5. Candi Dwarawati

Candi Dwarawati
     Candi terakhir di Dieng yang kami kunjungi adalah Candi Dwarawati. Letak Candi Dwarawati ini lebih jauh lagi dari kompleks Candi Arjuna dan kawan-kawan. Candi Dwarawati ini terletak di pinggir perkampungan. Untuk menuju kesana kami harus melewati kampung dengan rumah cukup padat dan lahan-lahan pertanian warga. Candi ini sangat sepi pengunjung tidak seperti di kompleks Candi Arjuna.
Candi Dwarawati
     Dan kami pun sungguh puas berkeliling dan menikmati bukan hanya keindahan alam dan hawa sejuk pegunungan Dieng tetapi juga candi-candinya yang masih penuh misteri. Walaupun flu dan batuk menyerang tetapi hatiku sungguh riang.

Berfoto bersama pria-pria berkostum di Candi Arjuna :D
     Oh iya, di kompleks candi-candi yang cukup ramai terdapat warga sekitar yang menggunakan bermacam-macam kostum dari kostum tokoh wayang sampai kostum tokoh kartun yang siap diajak berfoto. Ada tarif setiap beberapa kali foto yang dijamin tidak mahal. Mereka mengaku akan siap foto bersama dari pagi hingga sore. Kita senang mereka pun senang :D, jadi jangan lupa berfoto dengan mereka ya. Selamat berkeliling Dieng!!!


-Veronika




Sabtu, 25 Oktober 2014

Air Terjun Jumog, Kabupaten Karanganyar

     Dari Candi Cetho kami pun berencana untuk mampir ke sebuah air terjun yaitu air terjun Jumog. Air terjun Jumog yang terletak di Kabupaten Karanganyar ini memang tidak bisa dibandingkan ketinggiannya dengan air terjun Tawangmangu atau yang sering disebut juga Grojogan Sewu. Tetapi menurutku air terjun Jumog ini tidak kalah cantik dengan Grojogan Sewu. Air terjun Jumog ini terletak agak ke bawah seperti air terjun Grojogan Sewu. Kita diharuskan melewati anak tangga yang sudah ditata rapi. Tanaman-tanaman dan bunga-bunga di sekitar area air terjun terawat rapi.


     Tak lama setelah kami menuruni tangga, kami sudah bisa mendengar suara air terjun dan gemericik air. Aliran sungai kecil dari air terjun sungguh jernih dan yang paling aku suka, tidak ada sampah bertebaran di sana :). Di dalam area wisata air terjun Jumog ini terdapat warung-warung makan yang menyediakan berbagai macam makanan seperti sate, nasi goreng dan mie ayam. Warung-warung ini tertata rapi. Suasana sejuk dan sepi membuatku dan Getih betah berlama-lama menghabiskan waktu disini.


     Aku sempat berbincang-bincang dengan seorang ibu-ibu penjual bunga di area air terjun Jumog. Dia bercerita tempat wisata ini akan sangat ramai dikunjungi pada hari akhir pekan. Saking ramainya sampai dia menyarankan agar tidak datang di hari minggu karena akan sangat tidak nyaman. Yah, mau bagaimana lagi, kan memang hari libur kita di hari Minggu :). Ibu itu juga bercerita tentang air terjun Jumog sebelum dijadikan tempat wisata, dahulu katanya air terjun ini seringkali membuat banjir jika musim hujan dan rumput-rumput tinggi tumbuh lebat disekitar air terjun. Banyak sekali ditemui ular air waktu itu, tetapi sekarang semenjak dikelola sebagai tempat wisata sudah tidak pernah banjir lagi dan tidak terlihat ular-ular berkeliaran.






     Satu lagi yang membuatku menyukai tempat ini, penduduk lokalnya sangat ramah. Jangan lupa menyapa mereka dan tetap jaga kebersihan di area wisata air terjun Jumog ini ya jika kalian berkesempatan mengunjunginya. Selamat berwisata!


-Veronika

Rabu, 01 Oktober 2014

Candi Cetho, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah

     Sekitar kurang lebih dua tahun yang lalu aku mengunjungi Candi Cetho ini dan kali ini aku memiliki kesempatan untuk mengunjunginya kembali. Candi Cetho ini berlokasi di Dusun Cetho, Desa Gumeng, Kecamatan Jenawi, Kabupaten Karanganyar. Jalanan menuju Candi Cetho ini sudah beraspal dan berpemandangan sangat indah, tetapi sangat menanjak. Jadi kalau kalian berminat ke tempat ini jangan lupa pastikan kendaraan dalam keadaan baik. Untuk mencapai Candi Cetho ini bisa melewati kota Solo dan berjalan ke arah Tawangmangu. Banyak plang penunjuk jalan yang akan membantu menemukan lokasi.
     Tidak seperti candi-candi kebanyakan, Candi Cetho yang terletak di lereng gunung Lawu ini berupa bangunan teras berundak yang konon katanya berjumlah 14 teras tetapi pemugaran yang mampu dilakukan hanya 9 teras berundak saja. Candi ini bercorak Hindu dan dibangun pada masa akhir era Majapahit (abad 15 Masehi) yang mana sang Raja memutuskan untuk menyerahkan tahta kerajaan ke tangan penerusnya dan pergi ke lereng gunung Lawu ini. Sesaat aku teringat pendakian ke gunung Lawu beberapa bulan yang lalu dan sudah merasa sangat rindu untuk mendaki lagi.

Candi Ceto
     Hampir setiap teras berundak ditandai oleh gapura yang berbentuk mirip dengan gapura yang sering kita lihat di Bali. Pada pintu masuk pertama dapat kita lihat patung yang sering disebut sebagai arca Nyai Demang Arum. Aku sendiri tidak tahu dari mana asal nama itu dan apa kisah dibalik patung itu.


     Sesudah melewati patung Nyai Demang Arum kami menuju teras ke 2 yang berupa halaman dengan batu-batuan tersusun ditengah. Batu-batuan ini tersusun berbentuk seekor burung garuda yang dalam kepercayaan Hindu merupakan kendaraan Dewa Wisnu yang melambangkan dunia atas. Dapat dilihat juga bentuk-bentuk susunan batu seperti matahari, kura-kura (yang dipercaya sebagai titisan Dewa Wisnu yang melambangkan dunia bawah), dan juga bentuk alat kelamin laki-laki (sering disebut sebagai Kalacakra).
     Terdapat pula beberapa bentuk hewan yaitu katak, mimi (sejenis ikan yang selalu ditemui berpasangan sehingga dijadikan lambang kasih sejati), dan ketam (sejenis kepiting) yang kemungkinan besar menunjuk angka tahun Saka 1373 atau 1451 Masehi.


     Sebagian besar patung sudah tidak utuh dan hilang entah hancur atau dicuri orang-orang tidak bertanggung jawab. Teras-teras berikutnya dapat kita temui bangunan pendopo dan juga bangunan-bangunan menyerupai rumah yang di kanan kirinya terdapat patung-patung yang masih sering diberi sesaji.

Relief di Candi Cetho

Patung Candi CethoPatung Candi Cetho

     Aku sempat membaca kisah di Candi Cetho ini di papan informasi. Diceritakan tentang dua orang istri Kasyapa (seorang resi yang merupakan cucu dari Brahma). Sebenarnya Kasyapa memiliki 14 istri, tetapi di Candi Cetho ini hanya 2 yang diceritakan yaitu Kadru (ibu dari para Naga) dan Winata (ibu dari Aruna dan Garuda). Dikisahkan bahwa kedua istri Kasyapa ini bertaruh tentang warna ekor kuda pembawa Air Amarta dari pengadukan samudera susu. Kadru menebak bahwa ekor kuda tersebut berwarna hitam sedangkan Winata menebak warna ekor kuda itu putih. Sesungguhnya ekor dari kuda itu benar berwarna putih sesuai tebakan Winata namun anak-anak Kadru yang berwujud ular menyembur ekor kuda itu dengan bisa sehingga berubah warnanya menjadi hitam. Walaupun dengan cara yang curang namun Kadru memenangkan taruhan itu dan Winata menjadi budaknya.
     Kisah terciptanya Air Amarta yang adalah air kehidupan dan keabadian merupakan sebuah kisah yang sering disebut dengan Samuderamantana atau Sagaramantana. Kisah ini merupakan salah satu bagian dari sekumpulan cerita mitologi agama Hindu yang tergabung dalam naskah Adiparwa atau parwa pertama dari Mahabharata. Samuderamantana berawal dari usaha para Dewa dan Asura (rakshasa atau makhluk yang jahat dan memusuhi para Dewa) untuk mendapatkan Air Amarta dengan cara mengaduk samudera susu. Wisnu yang berhasil membujuk para Dewa dan Asura untuk bersama-sama memindahkan Gunung Meru dan melilitkan seekor naga raksasa Wasuki ke Gunung Meru itu dan menariknya dari dua arah. Asura memegang bagian kepala sedangkan Dewa memegang bagian ekor. Tetapi Gunung Meru itu tenggelam dan Wisnu berubah menjadi kura-kura raksasa untuk menopang Gunung Meru. Maka baik Dewa maupun Asura bekerjasama mengaduk samudera susu itu untuk mendapatkan Air Amarta.


     Selain kisah Samuderamantana terdapat juga kisah Garudeya (Garuda) yang menceritakan tentang usaha Garudeya membebaskan ibunya yaitu Winata dari perbudakan Kadru. Para Naga yang merupakan anak-anak Kadru mau membebaskan Winata jika Garudeya mampu memberikan Air Amarta kepada mereka. Dengan susah payah Garudeya mencari Air Amarta dan akhirnya dia bertemu denga Wisnu yang menyanggupi memberikan Air Amarta dengan syarat Garudeya mau menjadi kendaraan Wisnu. Setelah menyanggupi syarat tersebut, Air Amarta yang telah diberikan oleh Wisnu segera dibawa untuk diberikan kepada para Naga. Namun sebelum memberikannya, Garudeya berpesan agar para Naga mandi terlebih dahulu sebelum meminum Air Amarta itu. Akhirnya dibebaskanlah Winata dari perbudakan Kadru. Ketika para Naga mandi, Air Amarta diambil oleh Indra tanpa sepengetahuan para Naga. Ketika mengetahui bahwa Air Amarta hilang, para Naga pun sangat kecewa. Hanya tertinggal titik Air Amarta pada rumput ilalang dan berebutlah para Naga itu untuk menjilatnya. Karena rumput ilalang itu sangat tajam maka terbelahlah lidah para Naga menjadi dua sehingga membentuk cabang.
     Kedua kisah ini sungguh sangat menarik dan kami pun akhirnya tiba di teras teratas yang berupa dinding batu setinggi kurang lebih 1.6 meter. Kami tidak diperbolehkan masuk karena tempat ini menjadi tempat suci yang masih digunakan untuk beribadah oleh saudara kita umat Hindu. Senangnya bisa kembali ke Candi Cetho ini dan mengetahui kisah-kisah menarik yang tertuang didalamnya.


-Veronika

Selasa, 02 September 2014

Krokot (Portulaca)

Kerajaan (Kingdom) Plantae
Ordo (Order) Caryophyllales
Famili (Family) Portulacaceae
Genus Portulaca L.

     Portulaca atau yang sering kita sebut Krokot merupakan tanaman yang memiliki spesies 40-100 jenis. Warnanya yang biasanya cerah dan bervariasi menarik perhatian bukan hanya manusia tetapi juga serangga. Krokot cukup mudah tumbuh dan berkembang karena dia dapat tumbuh di berbagai medan tanah terutama pasir serta tanah kerikil. Krokot sangat menyukai matahari sehingga kita akan sering melihat bunganya bermekaran ketika musim panas.
     Beberapa sumber mengatakan bahwa tanaman ini bisa juga dimakan tetapi aku sendiri belum pernah memakannya. Krokot yang tumbuh rendah diatas tanah ini menyebar menggunakan bijinya. Tetapi aku pernah melihat mamaku menanamnya dengan cara memotong batangnya dan menancapkannya ke tanah. Wow, Krokot mudah sekali tumbuh ya (^_^).

     Portulaca or the Indonesian people usually called it as Krokot, it is a plant that has 40-100 species. Its color (usually bright and various) does not only attract humans but also insects. Portulaca is quite easy to grow and bloom because it tolerate many kinds of soil especially sand and gravel soil. Moreover, it loves the sunlight and we will often see the flowers bloom in summer.
     Some sources say that Portulaca can also be eaten but i never tried it by myself. Portulaca that grows low above the ground spreads using its seeds. But, i ever saw my mother planting it by cutting the stems and sticking it into the ground. Wow, Portulaca is easy to grow (^_^).










Foto-foto Portulaca diatas aku ambil di kebun samping rumahku di Getasan, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Indonesia :).

Portulaca's photos above was taken in the garden beside my house in Getasan, Kabupaten Semarang, Central Java, Indonesia :)

-Veronika

Minggu, 31 Agustus 2014

Candi Klero, Kabupaten Semarang

     Candi yang satu ini cukup dekat dengan kantor kami di Salatiga. Walaupun sangat dekat dengan kota Salatiga tetapi Candi Klero ini masuk wilayah Kabupaten Semarang. Candi Klero ini terletak di Desa Klero, Kecamatan Tengaran, Kabupaten Semarang. Cukup mudah untuk menemukan Candi Klero ini asal mata kita jeli melihat papan petunjuk. Jika dari arah kota Salatiga ke arah Solo pastikan melihat plang Candi Klero di kiri jalan sebelum jembatan pisah arah Solo. Setelah belok, tak lama kemudian kita sudah dapat melihat Candi Klero ini.
    Tengah hari aku dan Getih akhirnya tiba di Candi Klero ini. Walaupun Salatiga merupakan kota yang sejuk tetapi jika siang hari seperti ini tetap saja terasa panas. Tapi puji Tuhan tidak hujan :). Sabtu siang itu kami tidak membayar tiket masuk ataupun mengisi buku tamu karena loket tidak buka dan tidak terlihat satu penjaga pun disana. Tetapi pintu candi terlihat terbuka. Kami pun segera masuk.


     Taman di Candi Klero ini terlihat cukup rapi dan terawat. Hari itu beberapa orang tampak mengunjungi Candi Klero. Bangunan Candi Klero ini yang terdiri dari satu bangunan candi saja, merupakan candi yang bercorak Hindu, terlihat dari lingga yoni yang berada di dalam candi.


     Sayang sekali tidak terdapat informasi apa pun tentang asal usul ataupun sejarah pemugaran Candi Klero ini. Batu-batu pada candi ini sebagian besar bukan merupakan batu asli candi, jadi sudah terdapat banyak batu buatan untuk membantu membentuk Candi Klero ini. Sudah tidak terdapat relief gambar maupun patung-patung yang tersisa di Candi Klero ini, namun terdapat ukiran tulisan jawa kuno pada salah satu batunya yang sudah sulit untuk dibaca. Hmmm sayang sekali. Rasanya ingin sekali aku tahu apa cerita dibalik Candi Klero ini.

Tulisan Jawa Kuno di salah satu batu candi



      Sebelum datang ke Candi Klero aku sempat browsing berberapa blog yang memuat tentang Candi Klero ini. Pada sebuah blog aku sempat melihat ada sebuah lumpang dan juga batu panjang penumbuknya yang masih utuh. Blog itu ditulis pada tahun 2010. Yang membuat hati sedih adalah sekarang di tahun 2014, batu panjang penumbuk pasangan lumpang itu kami lihat sudah patah menjadi dua. Entah siapa yang telah merusak benda cagar budaya itu, yang pasti orang-orang seperti itu merupakan orang yang sungguh tak bertanggung jawab.

Batu tumbukan yang sudah patah jadi dua
Jika peninggalan jerih payah nenek moyangmu saja tidak dapat kau jaga,
bagaimana bisa engkau menjaga budaya dan eksistensimu saat ini?
dan jangan pernah berharap anak cucumu akan bisa menjaga dan menghargai jerih payahmu sekarang
karena kamu yang mereka tiru, ya..kamu yang tak bisa menjaga bahkan menghargai jerih payah nenek moyangmu.

-Veronika

Kamis, 14 Agustus 2014

Gunung Merbabu (3.142 mdpl) Jalur Cunthel

     Merbabu? Merbabu lagi? Tanya mamaku waktu aku berpamitan sebelum berangkat naik gunung. Iya, Merbabu lagi, entah untuk keberapa kalinya. Tak pernah bosan apalagi kali ini aku mendapat kesempatan untuk lewat jalur yang belum pernah aku lewati, yaitu jalur Cunthel. Beberapa teman berkata, "Kan sudah pernah ke Merbabu, kenapa kesana lagi?" Bagiku setiap perjalanan memiliki kisahnya sendiri walaupun di tempat yang sama. Kira-kira pukul 08.00 pagi kami ber-8 berangkat dari kantor. Hari itu cuaca sangat cerah walaupun beberapa hari yang lalu sempat dilanda hujan dan angin kencang. Tapi puji Tuhan waktu berangkat cerah ceria!
     Setelah hampir satu jam kami akhirnya tiba di base camp Desa Cunthel yang berdekatan dengan tempat wisata Kopeng tree top dan air terjun Umbul Songo. Setelah mendaftar dan menitipkan motor kami pun bersiap-siap untuk berangkat. Pemandangan dari base camp desa Chuntel  yang terawat dengan sangat baik ini sangat indah sekali. Gunung Sindoro, Gunung Sumbing dan Gunung Andong sangat jelas terlihat dari base camp.

Pemandangan dari base camp
      Sebelum kami berangkat kami berdoa bersama dahulu untuk keselamatan pendakian kami. Waktu mau berangkat tidak sengaja kaca mata Getih jatuh dan pecah. Aku sempat berpikir ingin membatalkan pendakian dan tidak ikut karena khawatir. Mata Getih yang minus 7 itu sudah pasti akan sulit sekali melihat tanpa kaca mata, tapi Getih tetap memaksa untuk berangkat. Dengan perlahan kami mulai pendakian.
     Trek awal pendakian berupa lahan bercocok tanam penduduk sekitar yang cukup menanjak dan sudah membuat keringat bercucuran dan nafas tersengal-sengal. Setelah 1 jam berjalan kami tiba di Pos Bayangan I dan beristirahat sejenak. Dari Pos Bayangan I trek pendakian akan didominasi oleh tanah menanjak yang licin. 45 menit kemudian kami mencapai Pos Bayangan II. Di Pos Bayangan II (Gumuk) ini terdapat sebuah dam mata air tetapi sudah kering. Jalan semakin menanjak dan sangat licin. Kira-kira 45 menit kemudian kami mencapai Pos I (Watu Putut). Perut sudah lapar tapi kami memutuskan untuk makan siang di Pos II saja. Setelah cukup beristirahat kami pun melanjutkan perjalanan.

Pos I (Watu Putut)
         Dengan perut keroncongan kami berjalan menuju Pos II. Di kanan dan kiri kami hutan sangat indah dan cukup lebat. Akhirnya setelah kurang lebih 1.5 jam kami tiba di Pos II (Kedokan). Makan siang siap di habiskan!!! hahahahaha.

Pos II (Kedokan)
     Setelah kenyang dan tidur sejenak badan kami pun kembali segar dan siap untuk melanjutkan perjalanan. Kurang lebih 30 menit kami sudah tiba di Pos III (Kergo Pasar). Pos III ini merupakan tanah lapang yang luas yang sering kali digunakan para pendaki untuk bermalam. Beberapa pendaki yang sedang makan siang di lapangan Pos III menyapa kami dengan ramah. Walaupun kami berjalan di siang hari yang cukup terik tapi hawa dingin sudah terasa. Harus tetap bergerak kalau tidak mau kedinginan.

Pos III (Kergo Pasar)
     Dari Pos III trek akan lebih menanjak lagi, siapkan kaki kalian :). Beberapa kali kaki ku kram karena trek yang begitu curam menanjak. Tetapi pemandangan disini sungguh luar biasa. Sejauh mata memandang, edelweiss kekuningan yang sangat cantik berbunga dimana-mana. Rasanya tak bosan-bosan memandang padang bunga edelweiss ini. Keindahan pemandangan ini menjadi obat lelah dari trek yang luar biasa melelahkan ini.
     Pos IV (Pemancar) adalah tujuan berikutnya yang kami kejar sebelum matahari terbenam. Pos IV Pemancar ini merupakan salah satu puncak dari 7 puncak gunung Merbabu dan juga merupakan salah satu puncak yang belum kukunjungi. Dari Pos III sudah bisa kita lihat Pos IV Pemancar ini tetapi tampak sangat jauh. Dengan kepayahan aku mencapai Pos IV Pemancar dalam waktu kurang lebih 2.5 jam. Pemandangan dari Pos IV Pemancar ini sungguh luar biasa indah, negeri di atas awan :).

Pemandangan dari Pos IV Pemancar
      Karena pemandangannya yang begitu menakjubkan kami berhenti untuk mengambil beberapa foto. Kami juga sempat berbincang-bincang dengan Mr. Kim turis dari Korea yang mendaki Merbabu seorang diri. Matahari mulai condong ke barat, kami pun bergegas menuju ke Watu Tulis dan mendirikan tenda di bawah Watu Tulis. Matahari pun mulai terbenam meninggalkan garis keemasan di cakrawala. Kami menikmati matahari terbenam setelah tenda-tenda sudah tegak berdiri. Wah cantiknya matahari terbenam hari ini.

Matahari terbenam dari Watu Tulis
      Setelah matahari tenggelam kami pun menyibukan diri untuk memasak makan malam. Rasanya badan ini tidak ingin berhenti bergerak, karena akan menggigil jika tidak melakukan apa-apa. Sungguh tidak beruntung kami kehabisan air malam itu dan kedua teman kami Refan dan Rangga harus mengambil air di Pos II jalur Wekas yang jaraknya cukup jauh. Untung saja fisik mereka kuat tidak seperti aku yang gampang loyo hahahaha.
     Keesokan paginya kami semua bangun kesiangan. Aku sendiri tidak ada niat sama sekali untuk melihat matahari terbit. Udara yang dingin menusuk tulang membuatku ingin tetap tinggal di dalam kantong tidurku yang hangat. Dalam hati aku sudah berniat tidak akan ikut ke puncak, walaupun sebenarnya aku sangat ingin ke Puncak Syarif yang belum pernah kudatangi tetapi badan ini tidak mau keluar dari kantong tidur hehehehe. Sudah pukul 06.30 ketika Rangga, Buyung, Junando dan Getih bersiap untuk berjalan ke Puncak Syarif. Mendengar suara-suara mereka yang bersemangat aku akhirnya dengan sepenuh hati meninggalkan kantong tidurku yang hangat. Inilah yang dinamakan "bukan gunung yang kita taklukan, tetapi diri sendiri". Akhirnya aku dapat menaklukan rasa malasku.
     Jalan menuju puncak bukanlah trek yang mudah. Seringkali kita harus menggunakan kedua tangan, kedua kaki dan juga pantat selama perjalanan. Belum lagi tebing-tebing terjal di kanan dan kiri kami. Kami harus berhati-hati agar tidak tersandung dan menyebabkan cedera yang fatal.

Gunung Kukusan
      Kira-kira 1.5 jam kami menempuh jalanan terjal berbatu-batu dan akhirnya tibalah kami di Puncak Syarif. Akhirnya oh akhirya aku bisa sampai juga di Puncak Syarif ini. Terima kasih Tuhan atas penyertaanm-Mu.

Puncak Syarif
      Perjalan pulang memang sudah seharusnya lebih cepat dari pada waktu berangkat. Kami berjalan sesuai ritme kami masing-masing untuk menuju base camp. Aku sempat jatuh berguling di bawah Pos IV Pemancar karena tersandung kayu dan membuat tulang ekorku sakit sekali. Tetapi untung saja bukan cidera yang serius dan aku masih mampu berjalan turun tanpa bantuan.

Keindahan Merbabu selalu ada dalam hati dan pikiran. Terima kasih Tuhan sudah memberikan Merbabu tempatku belajar mengerti bahwa bukan gunung yang aku taklukan tetapi diri sendiri.

Berfoto sebelum pulang

-Veronika