Selasa, 30 Juli 2013

Gunung bayangan di Puncak Lawu (3.265 mdpl)

     Sabtu-Minggu, 27-28 Juli 2013

     Sudah hampir sebulan rencana ke Gunung Lawu diundur, takutnya semakin lama semakin diundur nanti akhirnya tidak jadi. Jadi Sabtu tanggal 27 Juli akhirnya kami ber-4 memutuskan untuk berangkat. Kami berangkat dari kota kami, Salatiga tercinta sekitar pukul 05:00 pagi menuju kota Solo dengan menggunakan motor. Sampai di Solo kami beristirahat sebentar di rumah Getih sambil sarapan. Kali ini aku kembali menjadi satu-satunya cewek dalam kelompok pendakian.

Di depan rumah Getih
      Kami berangkat dari kota Solo menuju basecamp Cemoro Kandang dan mendaftar disana. Rencana awalnya kami ingin mendaki dari Cemoro Sewu dan turun lewat jalur Cemoro Kandang. Sekitar pukul 10:30 pagi kami berjalan dari base camp Cemoro Kandang ke base camp Cemoro Sewu. Wah kami berjalan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur :D. Dengan semangat 45 kami semua berjalan menuju base camp, ini pertama kalinya kami ke Gunung Lawu dan kami sangat bersemangat.


      Pukul 11:00 siang kami berangkat dari basecamp Cemoro Sewu dan tidak lupa berdoa sebelum memulai pendakian. Trek awalnya berupa jalan yang masih cukup landai dengan batu-batu yang tersusun rapi. Aku menyadari trek ini sangat menyenangkan waktu pendakian dan akan sangat menyebalkan waktu turun nanti, persiapkan dengkul anda!!! :D. Masih terdapat banyak pohon pinus dan cemara tetapi sayang sekali sudah banyak pula yang ditebang dan tanahnya di jadikan lahan pertanian penduduk.

Gerbang Cemoro Sewu
     Sebelum pos I terdapat mata air, kami mengisi botol persediaan air kami sebelum kembali melanjutkan pendakian. Airnya segar sekali. Di mata air ini terdapat bangunan dari kayu yang sudah mulai rusak dan vandalisme sudah banyak sekali memenuhi bangunan ini.
     Setelah mengisi botol-botol dengan air dari mata air, kami melanjutkan perjalanan ke pos I. Kami istirahat sebentar di pos I yang terdapat beberapa warung yang biasanya menjual makanan, tapi kali ini tutup semua karena bulan puasa. Jalan batu yang disusun dari pos ke pos memudahkan pendakian sekaligus membuat dengkul ngilu, sudah terbayang nanti harus berusaha keras membujuk kakiku untuk menuruni batu-batu yang tersusun seperti tangga ini (-_-"). Tapi semua lelah terobati oleh pemandangan indah dan bunga edelweiss yang berbunga dimana-mana (langsung ada back sound lagu Edelweiss dari film Sound of Music :D).
     Kami mendaki sambil berbincang-bincang dari hal yang menarik sampai hal-hal yang sangat tidak penting selama perjalanan. Bahkan kami sempat membahas bentuk daun bergerigi selama lebih dari 10 menit sambil mengamatinya dan akhirnya kami hentikan pembicaraan tentang daun karena kami berhenti terlalu lama. Senang rasanya dapat bercanda dan berbincang selama pendakian, membuat semangat tidak drop. Terkadang kami juga bernyanyi di tengah-tengah perjalan yang akhirnya dihentikan juga karena nafasnya habis ahahahaha.
     Ketika tiba di Pos IV matahari sudah hampir terbenam. Kami memutuskan untuk berhanti sejenak melihat matahari terbenam. Awan dibawah kami dan bintang gemerlap dilangit yang masih semburat biru diatas kami. Mata kami tertuju pada garis keemasan tempat matahari perlahan tergeser untuk menyinari bagian bumi yang lain. Ah indahnya.

Cantiknya matahari terbenam di Pos IV
    Setelah matahari tenggelam kami menyiapkan senter dan kembali berjalan. Jarak dari pos IV ke pos V cukup dekat, hanya sekitar 30 menit dengan kaki lambatku. Setelah sampai di pos V yang hanya merupakan tanah lapang kami sempat bingung mau mengambil jalan yang mana. Kami juga sempat tersesat melewati jalan ke kiri. Kami memutuskan kembali ke pos V dan ternyata jalan yang benar itu lurus saja jangan belok-belok :). Tak lama kemudian kami sampai ke Sendang Drajat dan langsung menuju ke tempat Mbok Yem yang konon katanya menjual nasi, teh, kopi dan hal-hal lain yang mungkin tak pernah ditemui di puncak-puncak gunung lainnya.
     Kami menginap di warung Mbok Yem semalaman dan ketika matahari hampir terbit kami memutuskan untuk packing dan meneruskan ke puncak Hargo Dumilah. Cuaca pagi itu sangat dingin, embun menempel di daun dan membuat hidung dan tenggorokan sakit. Puji Tuhan tidak hujan. Kami meninggalkan warung Mbok Yem yang membuat uang yang biasanya tidak berarti di puncak gunung menjadi kembali berarti :).
Mbok Yem, penyelamat pendaki yang kehabisan perbekalan :D
      Dari warung Mbok Yem ke puncak hanya dibutuhkan sekitar 10 menit untuk bisa sampai ke puncak Hargo Dumilah. Jalan ke puncak sungguh indah, jalan setapak penuh batu yang siap menggelinding kalau kita salah memijakkan kaki itu dihiasi banyak sekali edelweiss.

Aku dan Edelweiss
     Dan akhirnya kami tiba juga di puncak Gunung Lawu, Hargo Dumilah 3.265 mdpl. Handriko segera melepaskan sepatunya dan berpijak di tanah puncak Lawu itu seperti kebiasaan yang selalu dilakukan setiap kali mencapai puncak yang belum pernah dia capai. Tugu dipuncak itu bersih, tidak ada coret-coret tidak penting dari orang-orang yang tidak bisa menghargainya, dan baru kusadari tugu itu berbentuk lingga yoni yang merupakan lambang kesuburan di agama Hindu.
 
Handriko, Ndaru, dan Aku di Hargo Dumilah
Handriko, Getih, dan Ndaru di Hargo Dumilah


     Aku pernah membaca tentang gunung bayangan sebelumnya, yang kubaca itu ada di Gunung Everest dan tak kusangka-sangka aku bisa menemui gunung bayangan di puncak Gunung Lawu ini. Benar-benar mirip seperti gunung, hanya saja terlalu runcing :)..lucky me..
Gunung bayangan di Puncak Gunung Lawu
      Setelah puas berfoto dan berkeliling puncak Hargo Dumilah kami segera menyiapkan sarapan karena perut sudah keroncongan.

Aku dan Ndaru
     Pukul 07:30 kami segera turun untuk pulang meninggalkan puncak Gunung Lawu, tapi seperti biasa bukan kata selamat tinggal yang terucap, hanya sampai bertemu lagi Gunung Lawu :). Rencana awal untuk turun lewat Cemoro Kandang tidak kami lakukan karena kami tidak tahu treknya dan dari peta terlihat lebih panjang. Lain kali kami pasti akan lewat Cemoro Kandang. Karena kakiku masih belum ada tanda-tanda sakit aku mencoba berlari saat menuruni Gunung Lawu dan hasilnya bisa sampai di base camp Cemoro Sewu tidak lebih dari 4-5 jam. Yay!! Selama perjalan pulang kami ambil foto sebanyak-banyaknya untuk kenang-kenangan.

Narsis dulu

Ndaru dan Getih memasang senyum ganjil :D
 
Getih, Aku, Handriko, dan Ndaru
      Lawu dengan segala keindahan pemandangan, pohon, bunga edelweiss, gua-gua, sendang, dan medannya yang penuh dengan batu membuatku ingin kembali kesana suatu saat nanti :). Akhir kata, stop coret-coret tidak penting dan jangan buang sampah sembarangan!!!!

"Jangan menganggap dirimu tidak bisa mendaki gunung hanya karena jalanmu lambat, setiap orang memiliki tempo jalannya masing-masing. Begitu juga jangan menganggap dirimu tidak bisa menyelesaikan masalah dengan baik hanya karena kamu menyelesaikannya dengan lambat, setiap orang memiliki tempo penyelesaian masalah masing-masing. Jadi tetaplah pada tempomu dan gapailah apapun yang menjadi cita-citamu serta selesaikan semua masalahmu."
- My thought
    

Rabu, 17 Juli 2013

Bicara Tentang Aku

 Rabu, 17 Juli 2013

Bicara tentang aku....
Orang yang serba biasa
Baik yang biasa
Jahat yang biasa
Pandai yang biasa
Bodoh yang biasa
Berani yang biasa
Takut yang biasa
Wajah yang biasa
Tidak cantik, tidak jelek
Pemikiran yang biasa
Nama yang biasa
Orang bilang terlalu biasa tidak baik
Harus spesial, harus punya kelebihan
Apa buruknya menjadi biasa?
Bukankah tidak lebih dan tidak kurang adalah yang sempurna? Itulah biasa..

Bicara tentang aku...
Tidak akan ada banyak kata yang dapat tertulis
Tidak ingin mejadi luar biasa, hanya ingin biasa
Tidak hanya berpikiran 0 dan 1 karena hidup bisa saja diantaranya
Tidak hitam tidak putih, bisa saja abu-abu
Aku biasa...

*at my office*

Rabu, 10 Juli 2013

Gunung Ungaran (2.050 Mdpl)

Jumat-Sabtu, 5-6 Juli, 2013    

     Kali ini ke Gunung Ungaran lah kakiku melangkah. Gunung Ungaran terletak disebelah selatan kota Semarang. Teman-teman sekantor mengajak untuk mendaki Gunung Ungaran dan hanya dalam 2 hari aku sudah bersiap. Setiap ada rencana naik gunung hal pertama yang kuingat adalah kaki kananku ini kuat tidak ya diajak jalan jauh lagi? Hal kedua yang kuingat adalah Mbak Fifi yang sudah membuat kaki kananku seperti ini, tak ada dendam hanya penyesalan sedikit :). Tidak tampak aneh dari luar tapi kalau kecapekan kakinya akan sakit luar biasa. Tapi karena sudah terlanjur kepingin menyapa Gunung Ungaran akhirnya hari Jumat sepulang kerja kami berkumpul di halaman depan kantor untuk berangkat bersama-sama. Tidak seperti biasanya, kali ini aku bukan satu-satunya cewek dikelompok yang akan naik gunung.. Yay!! Ada Eta dan Anna yang menemani.
     Ada kejadian yang mengejutkan waktu perjalanan menuju basecamp. Adeku yang menggonceng Eta terkena lubang besar saat mengendarai motor membuat Eta terjatuh dan berguling-guling cukup spektakuler dijalan. Untung saja Eta tidak terluka parah, memar ditangan dan kaki kanannya. Syukurlah. Walaupun sudah jatuh dari motor dia tetap ngeyel ikut naik :).
     Kami berangkat dari Pos Mawar. Kami sempat tersesat sampai ke Gedong Songo, tapi akhirnya setelah sekitar 1 jam kami bisa tiba di pos Mawar. Sampai di pos mawar sudah pukul 22:30, dan kita berangkat dari Pos Mawar sekitar pukul 23.00. Kami dibagi menjadi 3 kelompok karena kami mendaki bersama-sama 21 teman kantor. Aku di kelompok paling akhir, kami menyebutnya kelompok keongers karena berjalan paling lambat diantara yang lainnya. Tapi menurutku aku harus bikin kelompok baru karena ternyata jalanku lebih pelan lagi, gimana kalau namanya siputers :D.
     Malam hari kami tidak dapat melihat banyak, jadi kurang tahu apa saja yang kami lewati. Keongers membutuhkan waktu 5 jam sampai di puncak. Sampai di puncak kami langsung membuat tenda dan memasak untuk menghangatkan perut. Aku tidak bisa tidur sama sekali karena takut melewatkan matahari terbit. Dan akhirnya matahari itu terbit juga, selamat pagi matahari, sapaku dari puncak Gunung Ungaran.    

Pemandangan dari Puncak Ungaran
      Track pendakian Ungaran relatif pendek tetapi cukup menantang karena banyak batu-batu yang licin dan pohon-pohon tumbang yang menghalangi jalan pendakian.



Menunggu makan malam matang




Menunggu Matahari terbit
     Waktu itu banyak sekali orang berkumpul untuk melihat matahari dari puncak Ungaran, dan setelah matahari terbit maka semua orang tidak akan menghiraukannya lagi. Bahkan akan mengeluh akan panasnya. Kalau aku jadi matahari pasti sedih banget :)

Teman-teman sekantor




Hutan tempat ngecamp

Kebun teh
     Terima kasih teman-teman Formulatrix sudah mau membawa saya ke Gunung Ungaran walaupun jalanku seperti siput :) Semangat selalu dan jangan lupa...sampah harus dibawa turun :)

Senin, 08 Juli 2013

Perpaduan dua kebudayaan beragama dalam Candi Plaosan Lor

Sabtu, 15 Juni, 2013    

     Satu lagi candi yang dibangun pada abad-abad Dinasti Sanjaya dan Dinasti Syailendra pada masa kejayaannya.Candi Plaosan Lor yang terletak di Desa Bugisan, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa Tengah, Indonesia ini terletak tak jauh dari kompleks Candi Prambanan, kira-kira 1 kilometer dari kompleks Candi Prambanan. Candi ini sangat mudah ditemukan karena lokasinya yang berada dipinggir jalan.

Candi Plaosan Lor
      Kompleks Candi ini dikelilingi 116 stupa dan 50 Candi Perwara (candi kecil). Kompleksnya cukup luas dan hal pertama yang aku bayangkan adalah Candi Plaosan Lor ini dijaga oleh 116 stupa dan 50 Candi Perwara yang berbaris dan berderet layaknya prajurit :). Mungkin agak berlebihan tapi itu yang aku bayangkan.

Stupa di sekeliling Candi PlaosanCandi Perwara di sekitar Candi Plaosan

     Di sebelah utara Candi Plaosan Lor terdapat jajaran patung para Buddha yang berderet disebuah selasar terbuka. Mungkin dulunya ini bukan selasar terbuka ya, karena terdapat beberapa batu penyangga kayu (soko) yang biasanya ada di pendopo-pendopo.

Jajaran Para Buddha
      Candi Plaosan Lor ini dibangun sekitar abad ke-9 dimana Rakai Pikatan menjadi raja dari kerajaan Mataram Kuno dan Pramodawardhani menjadi ratu dari kerajaan Mataram Kuno. Sang raja berasal dari dinasti Sanjaya yang beragama Hindu sedangkan Sang ratu berasal dari dinasti Syailendra yang beragama Budha. Mungkin mereka berdua diikat dalam pernikahan politik untuk menyatukan dua dinasti yang berbeda agama tapi aku lebih suka membayangkan mereka berdua saling mencintai walaupun mereka berbeda dinasti dan agama :). Ketika keduanya memimpin Mataram Kuno, banyak sekali candi-candi yang bentuk bangunannya memadukan kedua agama tersebut. Seperti Candi Plaosan Lor ini yang merupakan Candi Buddha tetapi masih terdapat unsur-unsur bangunan candi Hindu didalamnya. Sekali lagi, aku membayangkan Rakai Pikatan mempersembahkan Candi Plaosan Lor ini sebagai tanda cinta dan hormat kepada istrinya yang cantik, Pramodawardhani. Betapa indahnya harmoni :)



      Aku terus mengelilingi Candi Plaosan Lor ini dengan berbagai bayangan cerita tentang raja dan ratu yang berhasil membuat perbedaan mereka saling berdampingan tanpa menyingkirkan satu sama lain. Candi Plaosan Lor seperti ingin menceritakan keberhasilan kedua pasangan ini dalam menyatukan perbedaan. Andai saja ada sebuah novel atau film yang bisa menceritakan kembali kisah ini pasti akan menjadi cerita yang jauh lebih baik daripada sinetron jaman sekarang :).
     Ketika mengelilingi candi, ada beberapa coretan di relief candi yang benar-benar membuat saya kecewa. Dalam hati aku bertanya, sebenarnya kenapa mereka melakukan ini pada benda-benda peninggalan sejarah kita yang berharga? Mereka pikir mereka itu siapa, berani-beraninya merusak dan mengotori. Semoga semakin banyak orang sadar akan harta peninggalan yang berharga dan ikut menjaganya.

      Buatku, Candi Plaosan Lor adalah candi yang romantis :), selalu mengingatkanku pada Rakai Pikatan dan Pramodawardhani. Akhir tulisan, please...jangan buang sampah sembarangan dan jangan mencoret-coret harta peninggalan nenek moyang kita. Hargailah dan cintailah situs-situs purbakala Indonesia :)