Minggu, 31 Agustus 2014

Candi Klero, Kabupaten Semarang

     Candi yang satu ini cukup dekat dengan kantor kami di Salatiga. Walaupun sangat dekat dengan kota Salatiga tetapi Candi Klero ini masuk wilayah Kabupaten Semarang. Candi Klero ini terletak di Desa Klero, Kecamatan Tengaran, Kabupaten Semarang. Cukup mudah untuk menemukan Candi Klero ini asal mata kita jeli melihat papan petunjuk. Jika dari arah kota Salatiga ke arah Solo pastikan melihat plang Candi Klero di kiri jalan sebelum jembatan pisah arah Solo. Setelah belok, tak lama kemudian kita sudah dapat melihat Candi Klero ini.
    Tengah hari aku dan Getih akhirnya tiba di Candi Klero ini. Walaupun Salatiga merupakan kota yang sejuk tetapi jika siang hari seperti ini tetap saja terasa panas. Tapi puji Tuhan tidak hujan :). Sabtu siang itu kami tidak membayar tiket masuk ataupun mengisi buku tamu karena loket tidak buka dan tidak terlihat satu penjaga pun disana. Tetapi pintu candi terlihat terbuka. Kami pun segera masuk.


     Taman di Candi Klero ini terlihat cukup rapi dan terawat. Hari itu beberapa orang tampak mengunjungi Candi Klero. Bangunan Candi Klero ini yang terdiri dari satu bangunan candi saja, merupakan candi yang bercorak Hindu, terlihat dari lingga yoni yang berada di dalam candi.


     Sayang sekali tidak terdapat informasi apa pun tentang asal usul ataupun sejarah pemugaran Candi Klero ini. Batu-batu pada candi ini sebagian besar bukan merupakan batu asli candi, jadi sudah terdapat banyak batu buatan untuk membantu membentuk Candi Klero ini. Sudah tidak terdapat relief gambar maupun patung-patung yang tersisa di Candi Klero ini, namun terdapat ukiran tulisan jawa kuno pada salah satu batunya yang sudah sulit untuk dibaca. Hmmm sayang sekali. Rasanya ingin sekali aku tahu apa cerita dibalik Candi Klero ini.

Tulisan Jawa Kuno di salah satu batu candi



      Sebelum datang ke Candi Klero aku sempat browsing berberapa blog yang memuat tentang Candi Klero ini. Pada sebuah blog aku sempat melihat ada sebuah lumpang dan juga batu panjang penumbuknya yang masih utuh. Blog itu ditulis pada tahun 2010. Yang membuat hati sedih adalah sekarang di tahun 2014, batu panjang penumbuk pasangan lumpang itu kami lihat sudah patah menjadi dua. Entah siapa yang telah merusak benda cagar budaya itu, yang pasti orang-orang seperti itu merupakan orang yang sungguh tak bertanggung jawab.

Batu tumbukan yang sudah patah jadi dua
Jika peninggalan jerih payah nenek moyangmu saja tidak dapat kau jaga,
bagaimana bisa engkau menjaga budaya dan eksistensimu saat ini?
dan jangan pernah berharap anak cucumu akan bisa menjaga dan menghargai jerih payahmu sekarang
karena kamu yang mereka tiru, ya..kamu yang tak bisa menjaga bahkan menghargai jerih payah nenek moyangmu.

-Veronika

Kamis, 14 Agustus 2014

Gunung Merbabu (3.142 mdpl) Jalur Cunthel

     Merbabu? Merbabu lagi? Tanya mamaku waktu aku berpamitan sebelum berangkat naik gunung. Iya, Merbabu lagi, entah untuk keberapa kalinya. Tak pernah bosan apalagi kali ini aku mendapat kesempatan untuk lewat jalur yang belum pernah aku lewati, yaitu jalur Cunthel. Beberapa teman berkata, "Kan sudah pernah ke Merbabu, kenapa kesana lagi?" Bagiku setiap perjalanan memiliki kisahnya sendiri walaupun di tempat yang sama. Kira-kira pukul 08.00 pagi kami ber-8 berangkat dari kantor. Hari itu cuaca sangat cerah walaupun beberapa hari yang lalu sempat dilanda hujan dan angin kencang. Tapi puji Tuhan waktu berangkat cerah ceria!
     Setelah hampir satu jam kami akhirnya tiba di base camp Desa Cunthel yang berdekatan dengan tempat wisata Kopeng tree top dan air terjun Umbul Songo. Setelah mendaftar dan menitipkan motor kami pun bersiap-siap untuk berangkat. Pemandangan dari base camp desa Chuntel  yang terawat dengan sangat baik ini sangat indah sekali. Gunung Sindoro, Gunung Sumbing dan Gunung Andong sangat jelas terlihat dari base camp.

Pemandangan dari base camp
      Sebelum kami berangkat kami berdoa bersama dahulu untuk keselamatan pendakian kami. Waktu mau berangkat tidak sengaja kaca mata Getih jatuh dan pecah. Aku sempat berpikir ingin membatalkan pendakian dan tidak ikut karena khawatir. Mata Getih yang minus 7 itu sudah pasti akan sulit sekali melihat tanpa kaca mata, tapi Getih tetap memaksa untuk berangkat. Dengan perlahan kami mulai pendakian.
     Trek awal pendakian berupa lahan bercocok tanam penduduk sekitar yang cukup menanjak dan sudah membuat keringat bercucuran dan nafas tersengal-sengal. Setelah 1 jam berjalan kami tiba di Pos Bayangan I dan beristirahat sejenak. Dari Pos Bayangan I trek pendakian akan didominasi oleh tanah menanjak yang licin. 45 menit kemudian kami mencapai Pos Bayangan II. Di Pos Bayangan II (Gumuk) ini terdapat sebuah dam mata air tetapi sudah kering. Jalan semakin menanjak dan sangat licin. Kira-kira 45 menit kemudian kami mencapai Pos I (Watu Putut). Perut sudah lapar tapi kami memutuskan untuk makan siang di Pos II saja. Setelah cukup beristirahat kami pun melanjutkan perjalanan.

Pos I (Watu Putut)
         Dengan perut keroncongan kami berjalan menuju Pos II. Di kanan dan kiri kami hutan sangat indah dan cukup lebat. Akhirnya setelah kurang lebih 1.5 jam kami tiba di Pos II (Kedokan). Makan siang siap di habiskan!!! hahahahaha.

Pos II (Kedokan)
     Setelah kenyang dan tidur sejenak badan kami pun kembali segar dan siap untuk melanjutkan perjalanan. Kurang lebih 30 menit kami sudah tiba di Pos III (Kergo Pasar). Pos III ini merupakan tanah lapang yang luas yang sering kali digunakan para pendaki untuk bermalam. Beberapa pendaki yang sedang makan siang di lapangan Pos III menyapa kami dengan ramah. Walaupun kami berjalan di siang hari yang cukup terik tapi hawa dingin sudah terasa. Harus tetap bergerak kalau tidak mau kedinginan.

Pos III (Kergo Pasar)
     Dari Pos III trek akan lebih menanjak lagi, siapkan kaki kalian :). Beberapa kali kaki ku kram karena trek yang begitu curam menanjak. Tetapi pemandangan disini sungguh luar biasa. Sejauh mata memandang, edelweiss kekuningan yang sangat cantik berbunga dimana-mana. Rasanya tak bosan-bosan memandang padang bunga edelweiss ini. Keindahan pemandangan ini menjadi obat lelah dari trek yang luar biasa melelahkan ini.
     Pos IV (Pemancar) adalah tujuan berikutnya yang kami kejar sebelum matahari terbenam. Pos IV Pemancar ini merupakan salah satu puncak dari 7 puncak gunung Merbabu dan juga merupakan salah satu puncak yang belum kukunjungi. Dari Pos III sudah bisa kita lihat Pos IV Pemancar ini tetapi tampak sangat jauh. Dengan kepayahan aku mencapai Pos IV Pemancar dalam waktu kurang lebih 2.5 jam. Pemandangan dari Pos IV Pemancar ini sungguh luar biasa indah, negeri di atas awan :).

Pemandangan dari Pos IV Pemancar
      Karena pemandangannya yang begitu menakjubkan kami berhenti untuk mengambil beberapa foto. Kami juga sempat berbincang-bincang dengan Mr. Kim turis dari Korea yang mendaki Merbabu seorang diri. Matahari mulai condong ke barat, kami pun bergegas menuju ke Watu Tulis dan mendirikan tenda di bawah Watu Tulis. Matahari pun mulai terbenam meninggalkan garis keemasan di cakrawala. Kami menikmati matahari terbenam setelah tenda-tenda sudah tegak berdiri. Wah cantiknya matahari terbenam hari ini.

Matahari terbenam dari Watu Tulis
      Setelah matahari tenggelam kami pun menyibukan diri untuk memasak makan malam. Rasanya badan ini tidak ingin berhenti bergerak, karena akan menggigil jika tidak melakukan apa-apa. Sungguh tidak beruntung kami kehabisan air malam itu dan kedua teman kami Refan dan Rangga harus mengambil air di Pos II jalur Wekas yang jaraknya cukup jauh. Untung saja fisik mereka kuat tidak seperti aku yang gampang loyo hahahaha.
     Keesokan paginya kami semua bangun kesiangan. Aku sendiri tidak ada niat sama sekali untuk melihat matahari terbit. Udara yang dingin menusuk tulang membuatku ingin tetap tinggal di dalam kantong tidurku yang hangat. Dalam hati aku sudah berniat tidak akan ikut ke puncak, walaupun sebenarnya aku sangat ingin ke Puncak Syarif yang belum pernah kudatangi tetapi badan ini tidak mau keluar dari kantong tidur hehehehe. Sudah pukul 06.30 ketika Rangga, Buyung, Junando dan Getih bersiap untuk berjalan ke Puncak Syarif. Mendengar suara-suara mereka yang bersemangat aku akhirnya dengan sepenuh hati meninggalkan kantong tidurku yang hangat. Inilah yang dinamakan "bukan gunung yang kita taklukan, tetapi diri sendiri". Akhirnya aku dapat menaklukan rasa malasku.
     Jalan menuju puncak bukanlah trek yang mudah. Seringkali kita harus menggunakan kedua tangan, kedua kaki dan juga pantat selama perjalanan. Belum lagi tebing-tebing terjal di kanan dan kiri kami. Kami harus berhati-hati agar tidak tersandung dan menyebabkan cedera yang fatal.

Gunung Kukusan
      Kira-kira 1.5 jam kami menempuh jalanan terjal berbatu-batu dan akhirnya tibalah kami di Puncak Syarif. Akhirnya oh akhirya aku bisa sampai juga di Puncak Syarif ini. Terima kasih Tuhan atas penyertaanm-Mu.

Puncak Syarif
      Perjalan pulang memang sudah seharusnya lebih cepat dari pada waktu berangkat. Kami berjalan sesuai ritme kami masing-masing untuk menuju base camp. Aku sempat jatuh berguling di bawah Pos IV Pemancar karena tersandung kayu dan membuat tulang ekorku sakit sekali. Tetapi untung saja bukan cidera yang serius dan aku masih mampu berjalan turun tanpa bantuan.

Keindahan Merbabu selalu ada dalam hati dan pikiran. Terima kasih Tuhan sudah memberikan Merbabu tempatku belajar mengerti bahwa bukan gunung yang aku taklukan tetapi diri sendiri.

Berfoto sebelum pulang

-Veronika