Kamis, 14 Mei 2015

Pendakian Gunung Sumbing Via Jalur Lama Garung (3.371 Mdpl) - Edisi Kehujanan

     Pernah aku berjanji pada diriku sendiri untuk tidak melakukan pendakian pada saat musim hujan karena beberapa kali mengalami kejadian kurang menyenangkan. Lagi pula kurang baik jika naik gunung kehujanan, bisa-bisa kita harus berhadapan dengan hipotermia. Walaupun teman-teman mengajak untuk mendaki ke gunung Merbabu yang paling ku sukai sekali pun aku tidak akan berangkat. Tetapi sore itu, di tengah-tengah musim hujan yang belum ada tanda-tanda akan usai ini teman-teman mengajaku dan Getih untuk mendaki ke gunung Sumbing. Mungkin karena ini pertama kalinya aku berencana ke Sumbing jadi tak bisa menolak :)
     Jumat malam jam 10 kami berangkat dari kantor ke base camp yang terletak di Desa Butuh, Dusun Garung, kecamatan Kalikajar, kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah. Kami berencana menginap semalam di base camp dan berangkat keesokan paginya.

Gunung Sindoro dari base camp Garung

     Semalam memang hujan deras tetapi pagi harinya cukup cerah dan gunung Sindoro tampak sangat indah dan jelas dari base camp Garung. Tetapi tidak seperti gunung Sindoro yang tampak cerah, Gunung Sumbing sudah diliputi mendung pagi itu. Yah terima nasib saja pasti akan kehujanan nanti. Sebenarnya kami berencana untuk mendaki lewat jalur baru, tetapi karena terjadi longsor dan jalur baru ditutup kami pun harus lewat jalur lama yang menurut informasi lebih terjal.

Gunung Sumbing dari base camp Garung

Foto dulu sebelum berangkat (^_^)

     Banyak sekali rombongan pendaki hari itu. Setelah berfoto bersama dan berpamitan dengan bapak pemilik rumah dan teman-teman pendaki yang lain kami pun segera berangkat. Dari base camp kami berjalan melewati rumah-rumah penduduk. Trek awal ini berupa jalan aspal dan jalan bebatuan yang disusun rapi. Seperti biasa, sudah bisa kubayangkan jalan berbatu rapi ini bakalan membuat dengkul senut-senut baik itu waktu berangkat maupun pulang hahaha.
     Di kanan kiri kami terdapat ladang para penduduk sekitar. Sebenarnya dari base camp ke Pos I bisa kita tempuh dengan menggunakan ojek dengan biaya Rp 25.000,- untuk naik dan Rp 20.000,- untuk turun (tahun 2015), tetapi kami memutuskan untuk jalan kaki saja karena ini pertama kalinya kami mendaki gunung Sumbing. Ingin bisa merasakan trek komplit :).

Jalan berbatu menuju Pos I
     Kami membutuhkan waktu kurang lebih 2,5 jam dari base camp ke Pos I. Trek awal ini benar-benar menguras tenaga. Kami berangkat 1 jam lebih awal dari pendaki lain dan waktu kami ngos-ngosan di tengah jalan pendaki yang lain menyusul dan bahkan jauh mendahului kami menggunakan ojek. Sakit. Haahahahahaha. Tapi karena dari awal kami sudah memutuskan untuk menapaki jalur dari awal sampai akhir jadi kami lanjut dengan ceria.
     Di Pos I terdapat shelter dan tak jauh dari situ terdapat mata air. Sebaiknya isi dulu bekal air kalian di sini. Trek menuju Pos II berupa jalur tanah yang juga merupakan jalur air hujan. Sangat licin dan kami harus sangat berhati-hati. Seperti yang sudah kami duga hujan pun mulai turun. Kombinasi jalur licin dan hujan deras memang tiada duanya. Masih semangat terussss!!! Kurang lebih 2 jam kami pun tiba di Pos II (Gatakan). Di Pos II ini kami berhenti untuk menunggu 3 teman kami yang akan menyusul kami. Jalan mereka cepat sehingga kami putuskan untuk menunggu di Pos II. Dengan badan basah kuyup kami pun membentangkan flysheet, mengikat ujung-ujungnya pada pohon dan berlindung di bawahnya sambil makan siang. 
     Sudah lewat 2 jam kami duduk menggigil kedinginan, ujung-ujung jariku sudah mulai keunguan. Berbagai gerakan sudah kami lakukan untuk menghangatkan tubuh tapi baju basah kami membuat tubuh tetap kedinginan. Ketika ujung jariku mulai mati rasa, Refan mengeluarkan kompor dan merebus air. Awalnya kami tidak tahu apa yang dia lakukan. Setelah air mendidih ia mengambil sehelai tissue basah dan mencelupkannya ke air panas. Dengan tissue basah hangat itu ia membasuh ujung-ujung jarinya dan bahkan tangan kakinya. Ah, ide yang bagus!!! hahahahaha. Segera kami menirukannya. Waaahh ujung-ujung jariku sudah tidak mati rasa lagi dan bahkan tidak berwarna ungu lagi. Kami menamai teknik menghangatkan tubuh ini "Teknik Sibin" hahahaha. Walaupun hangatnya tidak bertahan lama paling tidak jari-jari tangan dan kakiku bisa normal kembali. Bisa kutangkap tatapan aneh dari para pendaki lain yang melewati kami. Kalau dibayangkan pasti pemandangan yang konyol sekali, 5 orang basah kuyup dan tertawa-tawa dengan tissue basah menempel di badan kami.

Camping ground tepat di bawah Pestan
     Setelah 2 jam lebih yang serasa 2 tahun akhirnya ketiga teman kami datang. Senangnya bisa melanjutkan perjalanan. Sudah hampir pukul empat sore ketika kami berjalan menuju Pos III. Sebenarnya Pos III merupakan tempat yang cukup bagus untuk mendirikan tenda. Tetapi tempat sudah penuh, jadi mau tak mau harus terus naik. Hujan masih deras mengguyur dan trek setelah Pos III ini jauh lebih terjal lagi. Air mengalir deras membuat trek semakin sulit dilewati. Tak apalah badan basah kuyup asal baju dan alat-alat aman dan kering di keril.
     Kami memutuskan mendirikan tenda tepat sebelum Pestan (Peken Setan) atau Pasar Setan. Walaupun masih cukup jauh dari puncak tetapi matahari sudah mulai tenggelam dan kami tidak ingin berjalan di malam hari. Setelah tenda berdiri dan kami sudah kering dan hangat dengan canda tawa dan makanan hangat yang terasa 100x lipat lebih enak jika dibandingkan dimakan di rumah, kami pun masuk ke tenda kami masing-masing untuk beristirahat. Malam itu tenda kami dihajar hujan badai. Angin kencang terus saja bertiup sepanjang malam.
Gunung Sindoro dari Pestan Sumbing
     Rencana kami untuk summit attack jam 4 pagi pun gagal karena cuaca yang buruk. Pukul 8 kami mulai menuju puncak karena sayang jika tidak lanjut sampai puncak apalagi cuaca cerah setelah badai semalam. Baru berjalan kurang dari 15 menit kami sudah tiba di Pestan. Di Pestan yang berupa tanah lapang ini tidak dianjurkan untuk mendirikan tenda karena tidak ada pohon satu pun yang akan melindungi tenda dari angin.


     Setelah berjalan sekitar 30 menit kami pun tiba di Pasar Watu. Seperti namanya, Pasar Watu ini didominasi oleh batu-batu besar tetapi tidak sulit untuk dilalui. Tetapi setelah itu ada sebuah batu besar yang sangat miring di tengah-tengah jalan. Kalian yang pernah mendaki Sumbing pasti tahu batu ini. Harus berhati-hati karena di bawah batu miring ini terdapat jurang.

Pasar WatuTrek legendaris Sumbing

     Satu jam kemudian kami tiba di Watu Kotak yang kata orang dinamai demikian karena  bentuknya yang menyerupai kotak. Tapi dari apa yang kulihat lebih mirip persegi panjang hehehehe. Persediaan air sudah habis dan perut sudah mulai lapar. Badan mulai lemas karena haus. Untung saja terdapat air setelah Tanah Putih. Setelah minum air sebanyak-banyaknya serasa hidup kembali.
     Akhirnya...akhirnya setelah hujan badai kemarin dan jalan terjal berliku menuju puncak, kami pun tiba di Puncak Buntu 2 jam kemudian. Puncaknya cukup unik karena sebenarnya masih terdapat tempat lain yang lebih tinggi tetapi tidak bisa didaki dengan mudah. Rangga dan Pak Nando sudah berlarian turun ke kawah. Kakiku sudah lemas jadi tidak ikut, hanya memandang mereka dari Puncak Buntu saja. Wahhhh...pemandangan dari puncak Sumbing memang juara.

Puncak Buntu
     Konon katanya terdapat sebuah makam di Puncak Gunung Sumbing ini. Sebuah makam seorang Syeh yang bernama Syeh Kiai Makukuhan. Beliau disebut-sebut sebagai utusan Kerajaan Demak untuk menyebarkan agama Islam. Tidak, aku sendiri tidak melihat makam itu...mungkin belum beruntung :)

 
Pemandangan kawah dari Puncak Buntu
     Setelah puas berfoto di puncak kami pun segera turun. Puji Tuhan perjalanan pulang kami tidak diguyur hujan. Kami tiba kembali di base camp Garung sekitar pukul 9 malam dengan hati puas karena bisa mendaki dan turun dengan selamat dan dapat merasakan jalur komplit Sumbing. Badan boleh terasa sakit dan lelah tetapi semangat tetap membara. Siap beraktifitas kembali di hari Senin!

Berlari kecil kami di bawah rinai hujan
Entah air hujan entah keringat yang mengalir deras membasahi tubuh kami
Kami tak tahu
Tapi satu hal yang selalu kami tahu
Canda dan tawa kami mengalir hangat dari hati ke hati

-Veronika