Sabtu, 25 Oktober 2014

Air Terjun Jumog, Kabupaten Karanganyar

     Dari Candi Cetho kami pun berencana untuk mampir ke sebuah air terjun yaitu air terjun Jumog. Air terjun Jumog yang terletak di Kabupaten Karanganyar ini memang tidak bisa dibandingkan ketinggiannya dengan air terjun Tawangmangu atau yang sering disebut juga Grojogan Sewu. Tetapi menurutku air terjun Jumog ini tidak kalah cantik dengan Grojogan Sewu. Air terjun Jumog ini terletak agak ke bawah seperti air terjun Grojogan Sewu. Kita diharuskan melewati anak tangga yang sudah ditata rapi. Tanaman-tanaman dan bunga-bunga di sekitar area air terjun terawat rapi.


     Tak lama setelah kami menuruni tangga, kami sudah bisa mendengar suara air terjun dan gemericik air. Aliran sungai kecil dari air terjun sungguh jernih dan yang paling aku suka, tidak ada sampah bertebaran di sana :). Di dalam area wisata air terjun Jumog ini terdapat warung-warung makan yang menyediakan berbagai macam makanan seperti sate, nasi goreng dan mie ayam. Warung-warung ini tertata rapi. Suasana sejuk dan sepi membuatku dan Getih betah berlama-lama menghabiskan waktu disini.


     Aku sempat berbincang-bincang dengan seorang ibu-ibu penjual bunga di area air terjun Jumog. Dia bercerita tempat wisata ini akan sangat ramai dikunjungi pada hari akhir pekan. Saking ramainya sampai dia menyarankan agar tidak datang di hari minggu karena akan sangat tidak nyaman. Yah, mau bagaimana lagi, kan memang hari libur kita di hari Minggu :). Ibu itu juga bercerita tentang air terjun Jumog sebelum dijadikan tempat wisata, dahulu katanya air terjun ini seringkali membuat banjir jika musim hujan dan rumput-rumput tinggi tumbuh lebat disekitar air terjun. Banyak sekali ditemui ular air waktu itu, tetapi sekarang semenjak dikelola sebagai tempat wisata sudah tidak pernah banjir lagi dan tidak terlihat ular-ular berkeliaran.






     Satu lagi yang membuatku menyukai tempat ini, penduduk lokalnya sangat ramah. Jangan lupa menyapa mereka dan tetap jaga kebersihan di area wisata air terjun Jumog ini ya jika kalian berkesempatan mengunjunginya. Selamat berwisata!


-Veronika

Rabu, 01 Oktober 2014

Candi Cetho, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah

     Sekitar kurang lebih dua tahun yang lalu aku mengunjungi Candi Cetho ini dan kali ini aku memiliki kesempatan untuk mengunjunginya kembali. Candi Cetho ini berlokasi di Dusun Cetho, Desa Gumeng, Kecamatan Jenawi, Kabupaten Karanganyar. Jalanan menuju Candi Cetho ini sudah beraspal dan berpemandangan sangat indah, tetapi sangat menanjak. Jadi kalau kalian berminat ke tempat ini jangan lupa pastikan kendaraan dalam keadaan baik. Untuk mencapai Candi Cetho ini bisa melewati kota Solo dan berjalan ke arah Tawangmangu. Banyak plang penunjuk jalan yang akan membantu menemukan lokasi.
     Tidak seperti candi-candi kebanyakan, Candi Cetho yang terletak di lereng gunung Lawu ini berupa bangunan teras berundak yang konon katanya berjumlah 14 teras tetapi pemugaran yang mampu dilakukan hanya 9 teras berundak saja. Candi ini bercorak Hindu dan dibangun pada masa akhir era Majapahit (abad 15 Masehi) yang mana sang Raja memutuskan untuk menyerahkan tahta kerajaan ke tangan penerusnya dan pergi ke lereng gunung Lawu ini. Sesaat aku teringat pendakian ke gunung Lawu beberapa bulan yang lalu dan sudah merasa sangat rindu untuk mendaki lagi.

Candi Ceto
     Hampir setiap teras berundak ditandai oleh gapura yang berbentuk mirip dengan gapura yang sering kita lihat di Bali. Pada pintu masuk pertama dapat kita lihat patung yang sering disebut sebagai arca Nyai Demang Arum. Aku sendiri tidak tahu dari mana asal nama itu dan apa kisah dibalik patung itu.


     Sesudah melewati patung Nyai Demang Arum kami menuju teras ke 2 yang berupa halaman dengan batu-batuan tersusun ditengah. Batu-batuan ini tersusun berbentuk seekor burung garuda yang dalam kepercayaan Hindu merupakan kendaraan Dewa Wisnu yang melambangkan dunia atas. Dapat dilihat juga bentuk-bentuk susunan batu seperti matahari, kura-kura (yang dipercaya sebagai titisan Dewa Wisnu yang melambangkan dunia bawah), dan juga bentuk alat kelamin laki-laki (sering disebut sebagai Kalacakra).
     Terdapat pula beberapa bentuk hewan yaitu katak, mimi (sejenis ikan yang selalu ditemui berpasangan sehingga dijadikan lambang kasih sejati), dan ketam (sejenis kepiting) yang kemungkinan besar menunjuk angka tahun Saka 1373 atau 1451 Masehi.


     Sebagian besar patung sudah tidak utuh dan hilang entah hancur atau dicuri orang-orang tidak bertanggung jawab. Teras-teras berikutnya dapat kita temui bangunan pendopo dan juga bangunan-bangunan menyerupai rumah yang di kanan kirinya terdapat patung-patung yang masih sering diberi sesaji.

Relief di Candi Cetho

Patung Candi CethoPatung Candi Cetho

     Aku sempat membaca kisah di Candi Cetho ini di papan informasi. Diceritakan tentang dua orang istri Kasyapa (seorang resi yang merupakan cucu dari Brahma). Sebenarnya Kasyapa memiliki 14 istri, tetapi di Candi Cetho ini hanya 2 yang diceritakan yaitu Kadru (ibu dari para Naga) dan Winata (ibu dari Aruna dan Garuda). Dikisahkan bahwa kedua istri Kasyapa ini bertaruh tentang warna ekor kuda pembawa Air Amarta dari pengadukan samudera susu. Kadru menebak bahwa ekor kuda tersebut berwarna hitam sedangkan Winata menebak warna ekor kuda itu putih. Sesungguhnya ekor dari kuda itu benar berwarna putih sesuai tebakan Winata namun anak-anak Kadru yang berwujud ular menyembur ekor kuda itu dengan bisa sehingga berubah warnanya menjadi hitam. Walaupun dengan cara yang curang namun Kadru memenangkan taruhan itu dan Winata menjadi budaknya.
     Kisah terciptanya Air Amarta yang adalah air kehidupan dan keabadian merupakan sebuah kisah yang sering disebut dengan Samuderamantana atau Sagaramantana. Kisah ini merupakan salah satu bagian dari sekumpulan cerita mitologi agama Hindu yang tergabung dalam naskah Adiparwa atau parwa pertama dari Mahabharata. Samuderamantana berawal dari usaha para Dewa dan Asura (rakshasa atau makhluk yang jahat dan memusuhi para Dewa) untuk mendapatkan Air Amarta dengan cara mengaduk samudera susu. Wisnu yang berhasil membujuk para Dewa dan Asura untuk bersama-sama memindahkan Gunung Meru dan melilitkan seekor naga raksasa Wasuki ke Gunung Meru itu dan menariknya dari dua arah. Asura memegang bagian kepala sedangkan Dewa memegang bagian ekor. Tetapi Gunung Meru itu tenggelam dan Wisnu berubah menjadi kura-kura raksasa untuk menopang Gunung Meru. Maka baik Dewa maupun Asura bekerjasama mengaduk samudera susu itu untuk mendapatkan Air Amarta.


     Selain kisah Samuderamantana terdapat juga kisah Garudeya (Garuda) yang menceritakan tentang usaha Garudeya membebaskan ibunya yaitu Winata dari perbudakan Kadru. Para Naga yang merupakan anak-anak Kadru mau membebaskan Winata jika Garudeya mampu memberikan Air Amarta kepada mereka. Dengan susah payah Garudeya mencari Air Amarta dan akhirnya dia bertemu denga Wisnu yang menyanggupi memberikan Air Amarta dengan syarat Garudeya mau menjadi kendaraan Wisnu. Setelah menyanggupi syarat tersebut, Air Amarta yang telah diberikan oleh Wisnu segera dibawa untuk diberikan kepada para Naga. Namun sebelum memberikannya, Garudeya berpesan agar para Naga mandi terlebih dahulu sebelum meminum Air Amarta itu. Akhirnya dibebaskanlah Winata dari perbudakan Kadru. Ketika para Naga mandi, Air Amarta diambil oleh Indra tanpa sepengetahuan para Naga. Ketika mengetahui bahwa Air Amarta hilang, para Naga pun sangat kecewa. Hanya tertinggal titik Air Amarta pada rumput ilalang dan berebutlah para Naga itu untuk menjilatnya. Karena rumput ilalang itu sangat tajam maka terbelahlah lidah para Naga menjadi dua sehingga membentuk cabang.
     Kedua kisah ini sungguh sangat menarik dan kami pun akhirnya tiba di teras teratas yang berupa dinding batu setinggi kurang lebih 1.6 meter. Kami tidak diperbolehkan masuk karena tempat ini menjadi tempat suci yang masih digunakan untuk beribadah oleh saudara kita umat Hindu. Senangnya bisa kembali ke Candi Cetho ini dan mengetahui kisah-kisah menarik yang tertuang didalamnya.


-Veronika