Sekitar kurang lebih dua tahun yang lalu aku mengunjungi Candi Cetho ini dan kali ini aku memiliki kesempatan untuk mengunjunginya kembali. Candi Cetho ini berlokasi di Dusun Cetho, Desa Gumeng, Kecamatan Jenawi, Kabupaten Karanganyar. Jalanan menuju Candi Cetho ini sudah beraspal dan berpemandangan sangat indah, tetapi sangat menanjak. Jadi kalau kalian berminat ke tempat ini jangan lupa pastikan kendaraan dalam keadaan baik. Untuk mencapai Candi Cetho ini bisa melewati kota Solo dan berjalan ke arah Tawangmangu. Banyak plang penunjuk jalan yang akan membantu menemukan lokasi.
Tidak seperti candi-candi kebanyakan, Candi Cetho yang terletak di lereng gunung Lawu ini berupa bangunan teras berundak yang konon katanya berjumlah 14 teras tetapi pemugaran yang mampu dilakukan hanya 9 teras berundak saja. Candi ini bercorak Hindu dan dibangun pada masa akhir era Majapahit (abad 15 Masehi) yang mana sang Raja memutuskan untuk menyerahkan tahta kerajaan ke tangan penerusnya dan pergi ke lereng gunung Lawu ini. Sesaat aku teringat pendakian ke gunung Lawu beberapa bulan yang lalu dan sudah merasa sangat rindu untuk mendaki lagi.
|
Candi Ceto |
Hampir setiap teras berundak ditandai oleh gapura yang berbentuk mirip dengan gapura yang sering kita lihat di Bali. Pada pintu masuk pertama dapat kita lihat patung yang sering disebut sebagai arca Nyai Demang Arum. Aku sendiri tidak tahu dari mana asal nama itu dan apa kisah dibalik patung itu.
Sesudah melewati patung Nyai Demang Arum kami menuju teras ke 2 yang berupa halaman dengan batu-batuan tersusun ditengah. Batu-batuan ini tersusun berbentuk seekor burung garuda yang dalam kepercayaan Hindu merupakan kendaraan Dewa Wisnu yang melambangkan dunia atas. Dapat dilihat juga bentuk-bentuk susunan batu seperti matahari, kura-kura (yang dipercaya sebagai titisan Dewa Wisnu yang melambangkan dunia bawah), dan juga bentuk alat kelamin laki-laki (sering disebut sebagai Kalacakra).
Terdapat pula beberapa bentuk hewan yaitu katak, mimi (sejenis ikan yang selalu ditemui berpasangan sehingga dijadikan lambang kasih sejati), dan ketam (sejenis kepiting) yang kemungkinan besar menunjuk angka tahun Saka 1373 atau 1451 Masehi.
Sebagian besar patung sudah tidak utuh dan hilang entah hancur atau dicuri orang-orang tidak bertanggung jawab. Teras-teras berikutnya dapat kita temui bangunan pendopo dan juga bangunan-bangunan menyerupai rumah yang di kanan kirinya terdapat patung-patung yang masih sering diberi sesaji.
|
Relief di Candi Cetho |
Aku sempat membaca kisah di Candi Cetho ini di papan informasi. Diceritakan tentang dua orang istri Kasyapa (seorang resi yang merupakan cucu dari Brahma). Sebenarnya Kasyapa memiliki 14 istri, tetapi di Candi Cetho ini hanya 2 yang diceritakan yaitu Kadru (ibu dari para Naga) dan Winata (ibu dari Aruna dan Garuda). Dikisahkan bahwa kedua istri Kasyapa ini bertaruh tentang warna ekor kuda pembawa Air Amarta dari pengadukan samudera susu. Kadru menebak bahwa ekor kuda tersebut berwarna hitam sedangkan Winata menebak warna ekor kuda itu putih. Sesungguhnya ekor dari kuda itu benar berwarna putih sesuai tebakan Winata namun anak-anak Kadru yang berwujud ular menyembur ekor kuda itu dengan bisa sehingga berubah warnanya menjadi hitam. Walaupun dengan cara yang curang namun Kadru memenangkan taruhan itu dan Winata menjadi budaknya.
Kisah terciptanya Air Amarta yang adalah air kehidupan dan keabadian merupakan sebuah kisah yang sering disebut dengan Samuderamantana atau Sagaramantana. Kisah ini merupakan salah satu bagian dari sekumpulan cerita mitologi agama Hindu yang tergabung dalam naskah Adiparwa atau parwa pertama dari Mahabharata. Samuderamantana berawal dari usaha para Dewa dan Asura (rakshasa atau makhluk yang jahat dan memusuhi para Dewa) untuk mendapatkan Air Amarta dengan cara mengaduk samudera susu. Wisnu yang berhasil membujuk para Dewa dan Asura untuk bersama-sama memindahkan Gunung Meru dan melilitkan seekor naga raksasa Wasuki ke Gunung Meru itu dan menariknya dari dua arah. Asura memegang bagian kepala sedangkan Dewa memegang bagian ekor. Tetapi Gunung Meru itu tenggelam dan Wisnu berubah menjadi kura-kura raksasa untuk menopang Gunung Meru. Maka baik Dewa maupun Asura bekerjasama mengaduk samudera susu itu untuk mendapatkan Air Amarta.
Selain kisah Samuderamantana terdapat juga kisah Garudeya (Garuda) yang menceritakan tentang usaha Garudeya membebaskan ibunya yaitu Winata dari perbudakan Kadru. Para Naga yang merupakan anak-anak Kadru mau membebaskan Winata jika Garudeya mampu memberikan Air Amarta kepada mereka. Dengan susah payah Garudeya mencari Air Amarta dan akhirnya dia bertemu denga Wisnu yang menyanggupi memberikan Air Amarta dengan syarat Garudeya mau menjadi kendaraan Wisnu. Setelah menyanggupi syarat tersebut, Air Amarta yang telah diberikan oleh Wisnu segera dibawa untuk diberikan kepada para Naga. Namun sebelum memberikannya, Garudeya berpesan agar para Naga mandi terlebih dahulu sebelum meminum Air Amarta itu. Akhirnya dibebaskanlah Winata dari perbudakan Kadru. Ketika para Naga mandi, Air Amarta diambil oleh Indra tanpa sepengetahuan para Naga. Ketika mengetahui bahwa Air Amarta hilang, para Naga pun sangat kecewa. Hanya tertinggal titik Air Amarta pada rumput ilalang dan berebutlah para Naga itu untuk menjilatnya. Karena rumput ilalang itu sangat tajam maka terbelahlah lidah para Naga menjadi dua sehingga membentuk cabang.
Kedua kisah ini sungguh sangat menarik dan kami pun akhirnya tiba di teras teratas yang berupa dinding batu setinggi kurang lebih 1.6 meter. Kami tidak diperbolehkan masuk karena tempat ini menjadi tempat suci yang masih digunakan untuk beribadah oleh saudara kita umat Hindu. Senangnya bisa kembali ke Candi Cetho ini dan mengetahui kisah-kisah menarik yang tertuang didalamnya.
-Veronika